TAQLID, ITTIBA’ DAN TALFIQ
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu Ushul Fiqh merupakan metode dalam menggali dan menetapkan hukum, ilmu
ini sangat berguna untuk membimbing para mujtahid dalam mengistimbatkan hukum
syara’ secara benar dan dapat dipertanggung jawabkan hasilnya. Melalui ushul
fiqh dapat ditemukan jalan keluar dalam menyelesaikan dalil-dalil yang
kelihatannya bertentangan dengan dalil lainnya.
Setiap umat Islam yang sudah terkena beban taklif,
wajib menjalankan syariat Islam pada setiap aktivitas kehidupannya. Dasar yang menjadi pedoman
pelaksanaan tersebut adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Tetapi setiap mukallaf
dapat menggali kedua sumber tersebut untuk dijabarkan dalam kegiatan hidupnya,
karena melihat kenyataan bahwa manusia ini berbeda tingkat intelektualitasnya
dalam setiap bidang dan mengingat sulitnya perangkat yang harus dimiliki oleh
seorang penggali hukum (mujtahid). Akibatnya, tidak semua manusia mendapatkan
ketentuan hukum dari sumber aslinya, tetapi melalui para mujtahid yang sanggup
mengistinbatkan hukum dari sumber aslinya itu.
Orang awam yang tidak mampu menggali hukum Islam
sendiri atau belum sampai pada tingkatan sanggup mengistinbatkan sendiri
hukum-hukum Islam, maka diperbolehkan bagi mereka mengikuti pendapat-pendapat
dari para mujtahid yang dipercayainya. Dalam makalah ini penulis mencoba
menguraikan tentang “Taqlid, Ittiba, dan Talfiq”,
yang meliputi pengertian dan hukum-hukumnya, serta syarat-syarat dan sebab
terjadinya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Taqlid, Ittiba’, dan Talfiq?
2. Bagaimana hukum
pembagiannya?
3. Bagaimana sebab terjadinya?
BAB II
PEMBAHASAN
A. TAQLID
1. Pengertian Taqlid
Hakekat taqlid menurut ahli bahasa, diambil dari kata-kata “qiladah”
(kalung), yaitu sesuatu yang digantungkan atau dikalungkan seseorang kepada
orang lain. Contoh penggunaannya dalam bahasa Arab, yaitu taqlid al-hady (mengalungi hewan kurban). Seseorang yang bertaqlid,
dengan taqlidnya itu seolah-olah menggantungkan hukum yang diikutinya dari
seorang mujtahid.[1]
Taqlid artinya mengikut tanpa alasan, meniru dan menurut tanpa dalil.
Menurut istilah agama yaitu menerima suatu ucapan orang lain serta
memperpegangi tentang suatu hukum agama dengan tidak mengetahui
keterangan-keterangan dan alasan-alasannya. Orang yang menerima cara tersebut
disebut muqallid.[2]
Dalam
pandangan Syi’ah, taqlid (mengikuti ulama’ dalam masalah-masalah teknis
keagamaan yang seseorang tak mampu menganalisis atau memahaminya[3]) adalah hubungan yang logis, ilmiah, alamiah dan
penting, antara orang awam atau bukan-ahli dengan ulama’ dalam masalah-masalah
praktis dan hukum yang mengandung aspek-aspek teknis yang tidak diketahui oleh
orang bukan-ahli.
Dalam
pemikiran Safawi, taqlid hanyalah sekadarpatuhan-buta kepada seorang ulama,
tunduk kepadanya, tanpa mempertanyakan pikiran, pendapat atau keputusan seorang
ulama. Singkat kata, sama dengan menyembah gagasan-gagasan kaum agamawan.[4]
2. Hukum Taqlid
Mengenai hukum taqlid ini terbagi kepada dua macam,
yaitu taqlid yang diharamkan dan taqlid yang dibolehkan.[5]
Taqlid yang diperbolehkan atau mubah, yaitu taqlid
bagi orang-orang awam yang belum sampai pada tingkatan sanggup mengkaji dalil
dari hukum-hukum syariat. Sebagaimana yang dikatakan Imam Hasan Al-Bana
mengenai taqlid ini, menurut beliau taqlid adalah sesuatu yang mubah dan
diperbolehkan oleh syariat, namun meski demikian, hal itu tidak berlaku bagi
semua manusia. Akan tetapi hanya dibolehkan bagi setiap muslim yang belum
sampai pada tingkatan an-nazhr atau tidak memiliki kemampuan untuk mengkaji dalil
dari hukum-hukum syariat, yaitu bagi orang awam yang awam sekali dan yang
serupa dengan mereka, yang tidak memiliki keahlian dalam mengkaji dalil-dalil
hukum, atau kemampuan untuk menyimpulkan hukum dari al-Quran dan Sunnah, serta
tidak mengetahui.
Taqlid yang dilarang atau haram, yaitu bagi
orang-orang yang sudah mencapai tingakatan an-nazhr atau yang sanggup mengkaji hukum-hukum syariat. Ada beberapa taqlid yang dilarang ini
antara lain :
a.
Taqlid buta, yaitu memahami suatu hal
dengan cara mutlaq dan membabi buta tanpa memperhatikan ajaran al-Quran dan
Hadis, seperti menaqlid orang tua atau masyarakat walaupun ajaran tersebut
bertentangan dengan ajaran al-Quran dan Hadis. Firman Allah SWT dalam surah
Al-Baqarah ayat 170:
وَاِذَا قِيْلَ لَهُمُ اتَّبِعُوْا
مَآ اَنْزَلَ اللهُ قَالُوْا بَلْ نَتَّبِعُ مَآ اَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ابَآءَنَاقلىوَلَوْ
كَانَ ابَآؤُهُمْ لَا يَعْقِلُوْنَ شَيْئًا وَّلَا يَهْتَدُوْنَ
“Dan
apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan
Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa
yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti
juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan
tidak mendapat petunjuk?". [6]
Firman Allah di atas tegas mencela terhadap
orang-orang yang bertaqlid yakni orang yang menerima hukum-hukum agama dengan
membabi tuli atau buta.
b.
Taqlid terhadap orang-orang yang tidak kita ketahui
apakah mereka ahli atau tidak tentang suatu hal yang kita ikuti tanpa pamrih.
c.
Taqlid terhadap seseorang yang telah
memperoleh hujjah dan dalil bahwa pendapat orang yang kita taqlidi itu
bertentangan dengan ajaran Islam atau sekurang-kurangnya dengan al-Quran dan
Hadis. Namun, boleh bertaqlid terhadap suatu pendapat,garis-garis hukum tentang
soal-soal dari seorang mujtahid yang betul-betul mengetahui hukum-hukum Allah
dan Rasul.
3. Syarat-Syarat Taqlid
Tentang
syarat taqlid bisa dilihat dari dua hal, yaitu dengan syarat orang yang
bertaqlid dan syarat orang yang ditaqlidi[7].
a. Syarat-syarat
orang yang bertaqlid
Syarat
orang yang bertaqlid adalah orang awam atau orang biasa yang tidak mengerti
cara-cara mencari hukum syara’. Ia boleh mengikuti pendapat orang lain yang
lebih mengerti hukum-hukum syara’ dan mengamalkannnya.
b. Syarat-syarat
orang yang ditaqlidi
Syarat yang
ditaqlidi ada kalanya adalah hukum-hukum yang berhubungan dengan hukum syara’. Dalam hukum akal tidak
boleh bertaqlid pada orang lain. Seperti mengetahui adanya zat yang menciptakan
alam serta sifat-sifatnya. Sedangkan
dalam hukum syara’ ada dua hal:
1) Ada yang
diketahui pasti dari agama seperti wajibnya shalat 5 waktu, puasa ramadhan,
haji, zakat, haram zina dan minuman keras.
2) Ada yang
diketahui dengan penyelidikan dengan mempergunkan dalil seperti soal
ibadah-ibadah yang kecil-kecil.
4. Perkembangan Taqlid
a. Periode
taqlid pertama
Sebagaimana
yang telah kami terangkan bahwa permulaan IV Hijriah, taqlid mulai mempengaruhi
ulama Islam. Masing-masing ulama mulai menegakkan fatwa imamnya dan menyeru
umatnya supaya bertaqlid kepada mazhab yang dianutnya.
b. Periode
taqlid yang kedua
Di dalam
periode taqlid pertama, keberadaan taqlid belum merata. Banyak juga ulama yang
berijtihad, walaupun tidak sebagai ulama Mujtahidin di masa Bani Umayyah Dan
permulaan masa Bani Abbas.
c. Periode
taqlid yang ketiga
Adapun
dalam periode ini, roh ijtihad telah padam sekali sunyi senyap bagaikan keadaan
ditengah malam. Fatwa haram berijtihadpun semakin marak.
d. Periode
taqlid yang keempat
Ketika
Muhammad Abduh muncul dalam masyarakat Mesir muncullah ulama-ulama Muqallid
memberikan tantangan yang mendahsyatkan. Muhammad Abduh menyerukan kepada ulama
untuk berijtihad dan menyingkap tirai taqlid.
Sebab
berjangkitnya ruhhut taqlid dan
hilangnya ruh ijtihad banyak sekali diantaranya adalah:
1) Usaha
murid-murid mujtahidin yang berpengaruh dalam masyarakat
2) Kehakiman
dan pengadilan
3) Terbuka
mazhab
B. ITTIBA
1.
Pengertian Ittiba’
Ittiba artinya menurut atau mengikut. Menurut istilah agama yaitu menerima
ucapan atau perkataan orang serta mengetahui alasan-alasannya (dalil), baik
dalil itu al-Quran maupun Hadis yang dapat dijadikan hujjah.[9] Imam Syafii mengemukakan pendapat
bahwa ittiba berarti mengikuti pendapat-pendapat yang datang dari Nabi Muhammad
SAW dan para sahabat atau yang datang dari tabiin yang mendatangkan kebajikan.[10]
Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh ialah menerima atau mengikuti
perkataan orang lain dengan mengetahui sumber atau alasan perkataan itu. Orang
yang melakukan ittiba disebut muttabi yang
jamaknya disebut muttabiun.[11]
Antara taqlid dengan ittiba mempunyai perbedaan, baik dalam segi sikap maupun
perilakunya. Dalam taqlid tidak ada unsur kreativitas kajian, sedangkan dalam
ittiba ada unsur kreativitas, yaitu studi dan pengkajian terhadap dalil yang
menjadi dasar dari sebuah pemikiran hukum.[12]
2.
Dasar Hukum dan Hukum Ittiba
Bagi orang yang mempunyai kesanggupan untuk
mengadakan penelitian terhadap nash-nash dan mengistinbatkan hukum daripadanya
adalah tidak layak mengikuti pendapat orang lain tanpa mengemukakan hujjahnya. Sebab
banyak didapatkan nash-nash yang memerintahkan agar kita ittiba, mengikuti
pendapat orang lain dengan menemukan argumentasi-argumentasi dari pendapat
orang yang diikuti dan mencela taqlid bagi orang-orang yang memiliki syarat
untuk ijtihad.[13]
Ittiba dalam agama disuruh sebagaimana dalam firman Allah SWT surah An-Nahl
ayat 43 yang berbunyi:
فَاسْئَلُوْا
اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَاتَعْلَمُوْنَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai
pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”[14]
Dalam ayat ini terdapat kalimat tanyakanlah, yaitu
suatu perintah yang memfaedahkan wajib untuk dilakukan. Maksudnya kewajiban kamu bertanya
kepada orang yang tahu dari kitab dan sunnah, tidak dari yang lain-lain. Dengan
pengertian ahli al-Quran dan Sunnah. Rasulullah SAW juga bersabda yang artinya,
“Wajib kamu turut sunnahku (cara) dan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku”. (HR Abu Daud).[15]
Kata ittiba ini penggunaannya lebih baik daripada
penggunaan kata taqlid, karena al-Quran sendiri menggunakan kata-kata ittiba
berkaitan dengan hal-hal yang terpuji dan disyariatkan. Misalnya seperti yang terdapat pada
ucapan Ibrahim kepada ayahnya dalam surah Maryam ayat 43 yang berbunyi :
ياَبَتِ اِنِّيْ
قَدْ جَآءَنِيْ مِنَ الْعِلْمِ مَالَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِيْ اَهْدِكَ صِرَاطًا
سَوِيًّا
“Wahai bapakku, Sesungguhnya telah datang kepadaku
sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, Maka ikutilah Aku,
niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.”[16]
Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang tidak
mengetahui dianjurkan untuk mengikuti orang alim dalam perkara yang tidak
diketahuinya sendiri.[17]
Demikian juga kita dapatkan dalam kisah Musa bersama seorang hamba yang
saleh yang terkenal denga nama Khidir. Tentang kisah Musa ini Allah SWT berfirman dalam surah Al-Kahfi ayat
65-66 yang berbunyi :
فَوَجَدَا
عَبْدًا مِّنْ عِبَادِنَآ اتَيْنهُ رَحْمَةً مِّنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنهُ مِنْ
لَدُنَّا عِلْمًا( ) قَالَ لَه مُوْسى
هَلْ اَتَّبِعُكَ عَلى اَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا( )
“Lalu
mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami
berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya
ilmu dari sisi Kami Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu
supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah
diajarkan kepadamu?"[18]
Musa telah memohon kepada Khidhr as agar diizinkan untuk mengikutinya dan
mengajarkannya apa yang telah Allah ajarkan kepadanya. Hal ini menunjukkan
bukti bahwa mengikuti orang yang lebih mengetahui dalam sebagian permasalahan
bukanlah hal yang tercela.
Jelaslah bagi kita bahwa ittiba’ termasuk satu perbuatan yang utama. Dan hukumnya adalah wajib kalau sekiranya. Kita tidak
dapat berijtihad sendiri. Dan inilah tujuan kita sebagai orang-orang muslim
agar kita dapat memahami secara
baik agama kita dan semua peraturan-peraturan yang ada didalamnya.[19]
C. TALFIQ
1. Pengertian Talfiq
Talfiq menurut arti harfiahnya adalah tambal sulam. Ia diumpamakan seperti
tindakan manambal sulam potongan-potongan kain untuk dijadikan sepotong baju
yang utuh, atau seperti kita mengumpulkan beragam hal dari berbagai tempat dan
kemudian disusun untuk dijadikan sesuatu bentuk yang utuh. Sedangkan talfiq menurut
istilah ialah mengambil pendapat dari seorang mujtahid kemudian mengambil lagi
dari seorang mujtahid lain, baik dalam masalah yang sama maupun dalam masalah
yang berbeda. Dengan kata lain talfiq itu adalah memilih pendapat dari berbagai
pendapat yang berbeda dari kalangan ahli fiqh.[20] Atau definisi
lainnya yaitu menyelesaikan suatu masalah (hukum) menurut hukum yang terdiri
atas kumpulan (gabungan) dua mazhab atau lebih.[21] Contoh nikah tanpa wali dan saksi adalah sah asal ada
pengumuman. Menurut madzhab Hanafi, sah nikah tanpa wali, sedangkan menurut
madzhab Maliki, sah akad nikah tanpa saksi.
Pada
dasarnya talfiq dibolehkan
dalam agama, selama tujuan melaksanakan talfiq itu semata-mata untuk
melaksanakan pendapat yang paling benar setelah meneliti dasar hukum dari
pendapat itu dan mengambil yang lebih kuat dasar hukumnya. Ada talfiq yang tujuannya mencari yang
mudah, ialah mengambil dari tiap mazhab yang enteng[22]. Talfiq semacam ini yang dicela para
ulama.
2. Hukum Tafiq
Apabila dihubungkan dengan mazhab-mazhab tertentu, maka seseorang bisa
memakai pendapat sesuatu mazhab dalam sesuatu persoalan, dan bisa pula memakai
mazhab lainnya dalam persoalan yang lain lagi, dengan syarat tidak ada hubungan
antara kedua persoalan tersebut dan tidak bermaksud mencari-cari yang
mudah-mudah saja. Pengambilan dari berbagai-bagai mazhab dalam berbagai-bagai
persoalan sebagaimana telah dikatakan di atas, adalah boleh. Tetapi mengenai
satu persoalan saja, apakah bagian-bagiannya bisa diambil dari berbagai-bagai
mazhab, sehingga pendapat dalam satu persoalan merupakan gabungan dari
berbagai-bagai mazhab, dan inilah yang disebut dengan talfiq, dalam hal ini ada
beberapa pendapat.[23]
Fuqaha dan Ahli Ushul mengenai hukum talfiq ini,
yakni boleh atau tidaknya seseorang berindah mazhab, baik secara keseluruhan
maupun sebagian mereka terbagi kepada tiga pendapat.[24] Pendapat tersebut adalah sebagai
berikut :
a. Pendapat pertama, mengatakan bila seseorang telah memiliki (memilih) salah satu mazhab,
maka ia harus tetap pada mazhab yang telah dipilihnya itu. Ia tidak dibenarkan
pindah kepada mazhab yang lain, baik secara keseluruhan maupun sebagian.
Keadaan orang itu sama dengan seorang mujtahid manakala sudah memilih salah
satu dalil maka ia harus tetap berpegang pada dalil itu. Sebab dalil yang dipilihnya itu adalah dalil yang
dipandangnya kuat, sebaliknya dalil yang tidak dipilihnya adalah dalil yang
dipandangnya lemah. Pertimbangan rasio dalam kondisi seperti itu menghendaki
orang yang bersangkutan untuk mengamalkan dalil yang dipandangnya kuat dan mempertahankannya. Atas dasar ini maka
talfiq hukumnya haram. Golongan ini dipelopori oleh sebagian dari ulama
Syafiiyah terutama Imam Al-Quffal Syasyi.
b. Pendapat
kedua,
mengatakan bahwa seseorang yang telah memilih salah satu mazhab boleh berpindah
ke mazhab yang lain walaupun untuk mencari keringanan dengan ketentuan hal itu
tidak terjadi dalam satu kasus hukum yang menurut mazhab pertama dan mazhab
kedua sama-sama memandang batal (tidak sah). Atas dasar ini maka talfiq dapat
dibenarkan. Pendapat ini dipelopori oleh Imam Al-Qarafi ulama besar dari
Malikiyah.
c. Pendapat ketiga, berpendirian bahwa seorang yang telah memilih salah satu mazhab tidak ada
larangan agama terhadap dirinya untuk pindah ke mazhab lain, walaupun didorong
untuk mencari keringanan. Ia dibenarkan mengambil pendapat dari tiap-tiap
mazhab yang dipandangnya mudah dan gampang, dengan alasan Rasulullah sendiri
kalau disuruh memilih antara dua perkara beliau memilih yang paling mudah
selama hal itu tidak membawa dosa. Di dalam salah satu hadisnya juga dikatakan
bahwa, beliau senang mempermudah urusan umatnya, juga ada hadis yang mengatakan
bahwa agama itu mudah.
Maka, menurut pendapat ini dengan
berdasarkan alasan di atas talfiq hukumnya mubah (boleh). Golongan ini
dipelopori oleh Imam Al-Kamal Humam dari ulama Hanafiah, beliau berkata, “Tidak
boleh kita halangi seseorang mengikuti yang mudah-mudah, karena seseorang boleh
mengambil mana saja yang enteng apabila ia memperoleh jalan untuk itu”.
Menurut M. Ali Hasan dari segi kemaslahatannya,
talfiq diperbolehkan sebagaimana pendapat Al-Kamal Humam di atas, dengan
beberapa alasan yaitu:
a.
Tidak ada nash yang mewajibkan seseorang harus
terikat kepada salah satu mazhab.
b.
Pada hakikatnya talfiq hanya berlaku pada masalah
fiqhiyah.
c.
Mewajibkan seseorang terikat kepada salah satu
mazhab berarti akan mempersulit umat. Hal ini bertentangan dengan prinsip hukum
Islam yang menyatakan ada kemudahan dan kemaslahatan.
d.
Pendapat yang membenarkan harus bermazhab adalah
dari para ulama mutaakhirin setelah mereka dijangkiti penyakit fanatik mazhab.
e.
Memperbolehkan talfiq tidak hanya akan membawa
kelapangan, tetapi akan membawa kepada hukum Islam yang dinamis.
f.
Kenyataan yang terjadi di kalangan sahabat, bahwa
orang boleh meminta penjelasan hukum kepada sahabat yang yunior, walaupun ada
sahabat yang lebih senior.[25]
Sedangkan Ulama Jumhur mengklasifikasikan talfiq
kepada dua macam yaitu:
a.
Talfiq yang dibolehkan, yaitu mengambil yang
teringan diantara pendapat-pendapat para mujtahid (mazhab) dalam beberapa
masalah yang berbeda-beda. Mereka beralasan bahwa talfiq sesuai dengan prinsip penetapan hukum yang
ditunjukkan syara yaitu tidak menyulitkan. Tetapi kemudahan yang diberikan oleh
agama tersebut itu jangan dimudah-mudahkan. Para ulama membolehkan talfiq ini
dengan tujuan untuk memperkecil fanatisme terhadap satu mazhab atau
menghindarkan perpecahan di kalangan umat Islam. Contohnya seseorang berwhudu
menurut syarat-syarat yang dituntut oleh mazhab Syafii kemudian pada saat-saat
yang lain dia berwudhu mengambil syarat-syarat sebagaimana yang ditentukan oleh
mazhab Hanafi, ini diperbolehkan karena bagi seorang mukallaf diizinkan
mengamalkan yang lebih ringan bila memang tidak ada jalan lainnya. Yakni ia
tidak mencabut amal yang telah dikerjakannya menurut satu mazhab untuk diganti
menurut mazhab yang lain. Jelasnya wudhu pertama menurut mazhab Syafii telah
selesai dan dipergunakan untuk suatu keperluan hingga selesai juga, kemudian
wudhu kedua menurut mazhab Hanafi telah selesai dan dipergunakan untuk
keperluan yang lain. Biar masalahnya serupa tapi peristiwanya berbeda.
b.
Talfiq yang tidak dibolehkan, yaitu
mengambil yang teringan diantara pendapat-pendapat para mujtahid dalam suatu
masalah. Contohnya seorang mengadakan akad nikah tanpa menggunakan wali menurut
mazhab Hanafi dan tanpa memakai dua saksi menurut mazhab Imam Malik. Akad nikah
yang mereka lakukan adalah fasid (batal) dari dua jurusan. Ia tidak boleh
beralasan bahwa agama itu mudah dan tidak menyakitkan. Sebab tempat kemudahan
dalam agama itu sudah diketahui oleh orang umum. Dan andaikata kemudahan itu
bertempat disembarang tempat secara meluas niscaya beban taklif manusia akan
gugur semuanya. Bagi Ulama yang tidak memperbolehkan talfiq ini mereka adalah
kelompok yang berpegang teguh kepada pendapat para Imamnya yang telah
dijangkiti penyakit taqlid dan fanatik mazhab.
3. Sebab-sebab Terjadinya Talfiq
Talfiq merupakan istilah yang lahir sebagai reaksi
dari berjangkitnya taqlid yang telah melanda umat yang cukup lama, kemudian
talfiq muncul bersamaan dengan kebangkitan kembali umat Islam dan eksistensinya
membawa pro dan kontra di kalangan umat (fuqaha). Talfiq merupakan istilah yang
relatif baru dalam lapangan fiqh.[26]
Persoalan talfiq ini, tidak ditemukan di dalam
kitab-kitab ulama salaf bahkan tidak pernah dibicarakan secara serius di
kalangan mereka. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa talfiq sebenarnya
adalah masalah baru yang kita kenal di dalam permasalahan fiqh dewasa ini yang
sengaja dibuat oleh ulama-ulama kahalaf (mutaakhirin), khususnya pada abad
kelima hijriah. Ulama-ulama Mutaakhirin yang memproklamirkan bahwa pintu
ijtihad telah tertutup mengakibatkan berjangkitnya penyakit taqlid yang mulai
dirasakan oleh dunia Islam, khususnya ulama-ulama Islam ketika itu.[27]
Dari sinilah muncul pendapat bahwa seorang harus
terikat dengan salah satu mazhab lain, baik secara keseluruhan maupun sebagian.
pindah dari satu mazhab ke mazhab lain secara sebagian inilah yang dikenal
dengan istilah talfiq.
Pendapat semacam ini cukup menarik perhatian di dunia Islam bukan saja
diikuti oeh orang-orang awam, tetapi juga oleh para ulamanya, Berabad-abad
lamanya pendapat ini melanda dunia Islam termasuk Indonesia sekarang ini.
Dengan adanya pendapat ini menurut Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, wawasan
Islam khususnya menjadi sempit. Hal ini menyebabkan hukum Islam yang mestinya
luwes (fleksibel) menjadi loyo, kaku, tidak sehat, dan tidak dinamis serta
tidak mampu berdiri tegak untuk menjawab tantangan zaman. Ketidakberesan ini
jelas tidak muncul dari hukum Islam melainkan muncul dari sikap ulama Islam
yang tidak tepat dalam menundukkan hukum Islam, sebagai akibat dari adanya
pendapat yang sempit sebagaimana disebutkan di atas tadi.[28]
Menurut Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, hal ini perlu diluruskan
dengan cara menundukkan masalah talfiq secara proporsional. Untuk itu, perlu
diadakan penelitian secara terpadu dengan mengkaji pendapat fuqaha dan para
ahli ushul berdasarkan kitab-kitab Turats, kitab-kitab hadits (modern) sehingga
kita nantinya dapat membandingkan antara pengkajian lama dengan pengkajian
baru, selanjutnya kita menarjihkan mana yang lebih rasional dan sesuai dengan
perkembangan masa kini, itulah yang kita mainkan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pengertian Taqlid dan
Ittiba’ serta talfiq di atas maka dapat disimpulkan bahwa taqlid ini mengikuti
atau mengambil pendapat seorang mujtahid tanpa mengetahui dasar dimana dalam
taqlid ada hukum amaliyah yang tidak memerlukan penelitian dan ada pula taqlid
yang memerlukan penelitian dan ijtihad, sedangkan mengikuti pendapat mujtahid
dengan mengetahui sumber pengambilannya. memilih ajaran adalah merupakan
perbuatan talfiq. Seseorang boleh bertaqlid apabila perkataan atau pendapat
yang diikuti atau yang diterima itu tidak diketahui dasar atau alasannya apakah
ada dalam Al-Qur’an dan hadits bahkan atau tidak sama sekali, akan tetapi
taqlid ini hanya dilakukan selama belum diketahui dalil yang kuat yang dapat
memecahkan persoalan tersebut.
Ittiba’ berarti menurut atau mengikuti semua yang
diperintahkan, dilarang oleh Allah dan dibenarkan oleh Rasulullah SAW.
Sedangkan orang yang mengikuti disebut muttabi’. Talfiq dilakukan untuk
mencari-cari mana yang mudah dan mengambil dari tiap-tiap mazhab untuk mencari mana
yang mudah.
Talfiq adalah menghimpun atau
bertaqlid dengan dua imam madzhab atau lebih dalam satu perbuatan yang memiliki
rukun, bagian-bagian yang terkait satu dengan lainnya yang memiliki hukum
khusus. Ia kemudian mengikuti satu dari pendapat yang ada.
Bagi siapapun yang berkeinginan
menjadi umat Rasulullah saw yang benar, taat dan patuh, hendaknya mengikuti apa
yang beliau perintahkan (ittiba’) dan jangan mengikuti apa bukan dari
rasulullah saw dan jangan sembarangan mengikuti apa yang bukan datang dari
beliau melalui lisannya para ulama dan salafushalih karena tidak mengetahui
dasar hukum (taklid). Begitupun
janganlah kita termasuk umat beliau yang memilah dan memilih ajaran, yang
mudah-mudah dilaksanakan yang dianggap sukar ditinggalkan. Pada dasarnya Islam datang membawa kemudahan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Hanafi, Pengantar dan
Sejarah Hukum Islam, Jakarta: PT
Bulan Bintang, cet. 7, 1995
Ali Syari’ati, Islam Mazhab
Pemikiran dan Aksi, terj. M.S. Nasrulloh dan Afif Muhammad, cet.1, Bandung:
Mizan, 1992
Dede Rosyada, Metode Kajian
Hukum Dewan Hisbah Persis, Jakarta:
Logos, 1999
Departemen Agama RI, Mushaf
Quantum Tauhid: Al-qur’an dan Terjemahannya, Bandung: MQS Publishing, 2010
Khairul Umam dan A.
Achyar Aminudin, cet. 2, Ushul Fiqih II, Bandung: Pustaka Setia,
2001
M Ali Hasan, Perbandingan
Mazhab, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, cet 4, 2002
M.T. Hasbi Ash Shiddiqy,
Pengantar Ilmu Fiqih, Jakarta: Bulan Bintang, 1974
Miftahul Arifin dan Ahmad
Faisal Haq, Ushul
Fiqh Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam, Surabaya: Citra Media, 1997
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul
Fiqh, cet. 4, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003
Yusuf Al-Qaradhawi, Bagaimana
Berinteraksi Dengan Peninggalan Ulama Salaf, terj. Ahrul Tsani Fathurrahman dan Muhtadi Abdul Munim, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2003
[1] Yusuf Al-Qaradhawi, Bagaimana
Berinteraksi Dengan Peninggalan Ulama Salaf, terj. Ahrul Tsani Fathurrahman dan Muhtadi Abdul Munim, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2003, hal. 87
[3] Ali Syari’ati, Islam
Mazhab Pemikiran dan Aksi, terj. M.S. Nasrulloh dan Afif Muhammad, cet.1,
Bandung: Mizan, 1992, hal. 61
[5] Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, cet. 2, Ushul
Fiqih II, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hal. 155
[6]Departemen Agama RI, Mushaf
Quantum Tauhid: Al-qur’an dan Terjemahannya, Bandung: MQS Publishing, 2010,
hal. 26
[13] Miftahul Arifin dan Ahmad Faisal Haq, Ushul Fiqh
Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam,
Surabaya : Citra Media, 1997, hal. 164
[19] Khairul Uman, Ahyar Aminuddin, Op. Cit., hal. 163
[22] M.T. Hasbi Ash Shiddiqy, Pengantar Ilmu Fiqih, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, hal. 237
[23]Ahmad Hanafi, Pengantar dan
Sejarah Hukum Islam, Jakarta: PT
Bulan Bintang, cet. 7, 1995, hal. 177
Tidak ada komentar:
Posting Komentar