jam berapa yahhh? :O

Senin, 05 Mei 2014

Ushul Fiqh "TAQLID, ITTIBA’ DAN TALFIQ"



TAQLID, ITTIBA’ DAN TALFIQ


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Ilmu Ushul Fiqh merupakan metode dalam menggali dan menetapkan hukum, ilmu ini sangat berguna untuk membimbing para mujtahid dalam mengistimbatkan hukum syara’ secara benar dan dapat dipertanggung jawabkan hasilnya. Melalui ushul fiqh dapat ditemukan jalan keluar dalam menyelesaikan dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan dengan dalil lainnya.
Setiap umat Islam yang sudah terkena beban taklif, wajib menjalankan syariat Islam pada setiap aktivitas kehidupannya. Dasar yang menjadi pedoman pelaksanaan tersebut adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Tetapi setiap mukallaf dapat menggali kedua sumber tersebut untuk dijabarkan dalam kegiatan hidupnya, karena melihat kenyataan bahwa manusia ini berbeda tingkat intelektualitasnya dalam setiap bidang dan mengingat sulitnya perangkat yang harus dimiliki oleh seorang penggali hukum (mujtahid). Akibatnya, tidak semua manusia mendapatkan ketentuan hukum dari sumber aslinya, tetapi melalui para mujtahid yang sanggup mengistinbatkan hukum dari sumber aslinya itu.
Orang awam yang tidak mampu menggali hukum Islam sendiri atau belum sampai pada tingkatan sanggup mengistinbatkan sendiri hukum-hukum Islam, maka diperbolehkan bagi mereka mengikuti pendapat-pendapat dari para mujtahid yang dipercayainya. Dalam makalah ini penulis mencoba menguraikan tentang “Taqlid, Ittiba, dan Talfiq”, yang meliputi pengertian dan hukum-hukumnya, serta syarat-syarat dan sebab terjadinya.

B.  Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian Taqlid, Ittiba’, dan Talfiq?
2.    Bagaimana hukum pembagiannya?
3.    Bagaimana sebab terjadinya?

BAB II
PEMBAHASAN

A.  TAQLID
1.    Pengertian Taqlid
Hakekat taqlid menurut ahli bahasa, diambil dari kata-kata “qiladah” (kalung), yaitu sesuatu yang digantungkan atau dikalungkan seseorang kepada orang lain. Contoh penggunaannya dalam bahasa Arab, yaitu taqlid al-hady (mengalungi hewan kurban). Seseorang yang bertaqlid, dengan taqlidnya itu seolah-olah menggantungkan hukum yang diikutinya dari seorang mujtahid.[1]
Taqlid artinya mengikut tanpa alasan, meniru dan menurut tanpa dalil. Menurut istilah agama yaitu menerima suatu ucapan orang lain serta memperpegangi tentang suatu hukum agama dengan tidak mengetahui keterangan-keterangan dan alasan-alasannya. Orang yang menerima cara tersebut disebut muqallid.[2]
Dalam pandangan Syi’ah, taqlid (mengikuti ulama’ dalam masalah-masalah teknis keagamaan yang seseorang tak mampu menganalisis atau memahaminya[3]) adalah hubungan yang logis, ilmiah, alamiah dan penting, antara orang awam atau bukan-ahli dengan ulama’ dalam masalah-masalah praktis dan hukum yang mengandung aspek-aspek teknis yang tidak diketahui oleh orang bukan-ahli.
Dalam pemikiran Safawi, taqlid hanyalah sekadarpatuhan-buta kepada seorang ulama, tunduk kepadanya, tanpa mempertanyakan pikiran, pendapat atau keputusan seorang ulama. Singkat kata, sama dengan menyembah gagasan-gagasan kaum agamawan.[4]
2.    Hukum Taqlid
Mengenai hukum taqlid ini terbagi kepada dua macam, yaitu taqlid yang diharamkan dan taqlid yang dibolehkan.[5]
Taqlid yang diperbolehkan atau mubah, yaitu taqlid bagi orang-orang awam yang belum sampai pada tingkatan sanggup mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat. Sebagaimana yang dikatakan Imam Hasan Al-Bana mengenai taqlid ini, menurut beliau taqlid adalah sesuatu yang mubah dan diperbolehkan oleh syariat, namun meski demikian, hal itu tidak berlaku bagi semua manusia. Akan tetapi hanya dibolehkan bagi setiap muslim yang belum sampai pada tingkatan an-nazhr atau tidak memiliki kemampuan untuk mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat, yaitu bagi orang awam yang awam sekali dan yang serupa dengan mereka, yang tidak memiliki keahlian dalam mengkaji dalil-dalil hukum, atau kemampuan untuk menyimpulkan hukum dari al-Quran dan Sunnah, serta tidak mengetahui.
Taqlid yang dilarang atau haram, yaitu bagi orang-orang yang sudah mencapai tingakatan an-nazhr atau yang sanggup mengkaji hukum-hukum syariat. Ada beberapa taqlid yang dilarang ini antara lain :
a.    Taqlid buta, yaitu memahami suatu hal dengan cara mutlaq dan membabi buta tanpa memperhatikan ajaran al-Quran dan Hadis, seperti menaqlid orang tua atau masyarakat walaupun ajaran tersebut bertentangan dengan ajaran al-Quran dan Hadis. Firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 170:
وَاِذَا قِيْلَ لَهُمُ اتَّبِعُوْا مَآ اَنْزَلَ اللهُ قَالُوْا بَلْ نَتَّبِعُ مَآ اَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ابَآءَنَاقلىوَلَوْ كَانَ ابَآؤُهُمْ لَا يَعْقِلُوْنَ شَيْئًا وَّلَا يَهْتَدُوْنَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". [6]
Firman Allah di atas tegas mencela terhadap orang-orang yang bertaqlid yakni orang yang menerima hukum-hukum agama dengan membabi tuli atau buta.
b.    Taqlid terhadap orang-orang yang tidak kita ketahui apakah mereka ahli atau tidak tentang suatu hal yang kita ikuti tanpa pamrih.
c.    Taqlid terhadap seseorang yang telah memperoleh hujjah dan dalil bahwa pendapat orang yang kita taqlidi itu bertentangan dengan ajaran Islam atau sekurang-kurangnya dengan al-Quran dan Hadis. Namun, boleh bertaqlid terhadap suatu pendapat,garis-garis hukum tentang soal-soal dari seorang mujtahid yang betul-betul mengetahui hukum-hukum Allah dan Rasul.
3.    Syarat-Syarat Taqlid
Tentang syarat taqlid bisa dilihat dari dua hal, yaitu dengan syarat orang yang bertaqlid dan syarat orang yang ditaqlidi[7].
a.    Syarat-syarat orang yang bertaqlid
Syarat orang yang bertaqlid adalah orang awam atau orang biasa yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum syara’. Ia boleh mengikuti pendapat orang lain yang lebih mengerti hukum-hukum syara’ dan mengamalkannnya.


b.    Syarat-syarat orang yang ditaqlidi
Syarat yang ditaqlidi ada kalanya adalah hukum-hukum yang berhubungan  dengan hukum syara’. Dalam hukum akal tidak boleh bertaqlid pada orang lain. Seperti mengetahui adanya zat yang menciptakan alam serta sifat-sifatnya. Sedangkan dalam hukum syara’ ada dua hal:
1)   Ada yang diketahui pasti dari agama seperti wajibnya shalat 5 waktu, puasa ramadhan, haji, zakat, haram zina dan minuman keras.
2)   Ada yang diketahui dengan penyelidikan dengan mempergunkan dalil seperti soal ibadah-ibadah yang kecil-kecil.
4.    Perkembangan Taqlid
Menurut ahli tasyri’ zaman taqlid telah mengarungi tiga atau empat periode dalam sejarah Islam[8]:
a.    Periode taqlid pertama
Sebagaimana yang telah kami terangkan bahwa permulaan IV Hijriah, taqlid mulai mempengaruhi ulama Islam. Masing-masing ulama mulai menegakkan fatwa imamnya dan menyeru umatnya supaya bertaqlid kepada mazhab yang dianutnya.
b.    Periode taqlid yang kedua
Di dalam periode taqlid pertama, keberadaan taqlid belum merata. Banyak juga ulama yang berijtihad, walaupun tidak sebagai ulama Mujtahidin di masa Bani Umayyah Dan permulaan masa Bani Abbas.
c.    Periode taqlid yang ketiga
Adapun dalam periode ini, roh ijtihad telah padam sekali sunyi senyap bagaikan keadaan ditengah malam. Fatwa haram berijtihadpun semakin marak.
d.   Periode taqlid yang keempat
Ketika Muhammad Abduh muncul dalam masyarakat Mesir muncullah ulama-ulama Muqallid memberikan tantangan yang mendahsyatkan. Muhammad Abduh menyerukan kepada ulama untuk berijtihad dan menyingkap tirai taqlid.
Sebab berjangkitnya ruhhut taqlid  dan hilangnya ruh ijtihad banyak sekali diantaranya adalah:
1)   Usaha murid-murid mujtahidin yang berpengaruh dalam masyarakat
2)   Kehakiman dan pengadilan
3)   Terbuka mazhab

B.  ITTIBA
1.    Pengertian Ittiba’
Ittiba artinya menurut atau mengikut. Menurut istilah agama yaitu menerima ucapan atau perkataan orang serta mengetahui alasan-alasannya (dalil), baik dalil itu al-Quran maupun Hadis yang dapat dijadikan hujjah.[9] Imam Syafii mengemukakan pendapat bahwa ittiba berarti mengikuti pendapat-pendapat yang datang dari Nabi Muhammad SAW dan para sahabat atau yang datang dari tabiin yang mendatangkan kebajikan.[10]
Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh ialah menerima atau mengikuti perkataan orang lain dengan mengetahui sumber atau alasan perkataan itu. Orang yang melakukan ittiba disebut muttabi yang jamaknya disebut muttabiun.[11]
Antara taqlid dengan ittiba mempunyai perbedaan, baik dalam segi sikap maupun perilakunya. Dalam taqlid tidak ada unsur kreativitas kajian, sedangkan dalam ittiba ada unsur kreativitas, yaitu studi dan pengkajian terhadap dalil yang menjadi dasar dari sebuah pemikiran hukum.[12]


2.    Dasar Hukum dan Hukum Ittiba
Bagi orang yang mempunyai kesanggupan untuk mengadakan penelitian terhadap nash-nash dan mengistinbatkan hukum daripadanya adalah tidak layak mengikuti pendapat orang lain tanpa mengemukakan hujjahnya. Sebab banyak didapatkan nash-nash yang memerintahkan agar kita ittiba, mengikuti pendapat orang lain dengan menemukan argumentasi-argumentasi dari pendapat orang yang diikuti dan mencela taqlid bagi orang-orang yang memiliki syarat untuk ijtihad.[13]
Ittiba dalam agama disuruh sebagaimana dalam firman Allah SWT surah An-Nahl ayat 43 yang berbunyi:
فَاسْئَلُوْا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَاتَعْلَمُوْنَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”[14]
Dalam ayat ini terdapat kalimat tanyakanlah, yaitu suatu perintah yang memfaedahkan wajib untuk dilakukan. Maksudnya kewajiban kamu bertanya kepada orang yang tahu dari kitab dan sunnah, tidak dari yang lain-lain. Dengan pengertian ahli al-Quran dan Sunnah. Rasulullah SAW juga bersabda yang artinya, “Wajib kamu turut sunnahku (cara) dan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku”. (HR Abu Daud).[15]
Kata ittiba ini penggunaannya lebih baik daripada penggunaan kata taqlid, karena al-Quran sendiri menggunakan kata-kata ittiba berkaitan dengan hal-hal yang terpuji dan disyariatkan. Misalnya seperti yang terdapat pada ucapan Ibrahim kepada ayahnya  dalam surah Maryam ayat 43 yang berbunyi :
ياَبَتِ اِنِّيْ قَدْ جَآءَنِيْ مِنَ الْعِلْمِ مَالَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِيْ اَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا
“Wahai bapakku, Sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, Maka ikutilah Aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.”[16]
Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang tidak mengetahui dianjurkan untuk mengikuti orang alim dalam perkara yang tidak diketahuinya sendiri.[17]
Demikian juga kita dapatkan dalam kisah Musa bersama seorang hamba yang saleh yang terkenal denga nama Khidir. Tentang kisah Musa ini Allah SWT berfirman dalam surah Al-Kahfi ayat 65-66 yang berbunyi :
فَوَجَدَا عَبْدًا مِّنْ عِبَادِنَآ اتَيْنهُ رَحْمَةً مِّنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا(   ) قَالَ لَه مُوْسى هَلْ اَتَّبِعُكَ عَلى اَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا(   )
“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"[18]
Musa telah memohon kepada Khidhr as agar diizinkan untuk mengikutinya dan mengajarkannya apa yang telah Allah ajarkan kepadanya. Hal ini menunjukkan bukti bahwa mengikuti orang yang lebih mengetahui dalam sebagian permasalahan bukanlah hal yang tercela.
Jelaslah bagi kita bahwa ittiba’ termasuk satu perbuatan yang utama. Dan hukumnya adalah wajib kalau sekiranya. Kita tidak dapat berijtihad sendiri. Dan inilah tujuan kita sebagai orang-orang muslim agar kita dapat memahami secara baik agama kita dan semua peraturan-peraturan yang ada didalamnya.[19]

C.  TALFIQ
1.    Pengertian Talfiq
Talfiq menurut arti harfiahnya adalah tambal sulam. Ia diumpamakan seperti tindakan manambal sulam potongan-potongan kain untuk dijadikan sepotong baju yang utuh, atau seperti kita mengumpulkan beragam hal dari berbagai tempat dan kemudian disusun untuk dijadikan sesuatu bentuk yang utuh. Sedangkan talfiq menurut istilah ialah mengambil pendapat dari seorang mujtahid kemudian mengambil lagi dari seorang mujtahid lain, baik dalam masalah yang sama maupun dalam masalah yang berbeda. Dengan kata lain talfiq itu adalah memilih pendapat dari berbagai pendapat yang berbeda dari kalangan ahli fiqh.[20] Atau definisi lainnya yaitu menyelesaikan suatu masalah (hukum) menurut hukum yang terdiri atas kumpulan (gabungan) dua mazhab atau lebih.[21] Contoh nikah tanpa wali dan saksi adalah sah asal ada pengumuman. Menurut madzhab Hanafi, sah nikah tanpa wali, sedangkan menurut madzhab Maliki, sah akad nikah tanpa saksi.
Pada dasarnya talfiq dibolehkan dalam agama, selama tujuan melaksanakan talfiq itu semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang paling benar setelah meneliti dasar hukum dari pendapat itu dan mengambil yang lebih kuat dasar hukumnya. Ada talfiq yang tujuannya mencari yang mudah, ialah mengambil dari tiap mazhab yang enteng[22]. Talfiq semacam ini yang dicela para ulama.
2.    Hukum Tafiq
Apabila dihubungkan dengan mazhab-mazhab tertentu, maka seseorang bisa memakai pendapat sesuatu mazhab dalam sesuatu persoalan, dan bisa pula memakai mazhab lainnya dalam persoalan yang lain lagi, dengan syarat tidak ada hubungan antara kedua persoalan tersebut dan tidak bermaksud mencari-cari yang mudah-mudah saja. Pengambilan dari berbagai-bagai mazhab dalam berbagai-bagai persoalan sebagaimana telah dikatakan di atas, adalah boleh. Tetapi mengenai satu persoalan saja, apakah bagian-bagiannya bisa diambil dari berbagai-bagai mazhab, sehingga pendapat dalam satu persoalan merupakan gabungan dari berbagai-bagai mazhab, dan inilah yang disebut dengan talfiq, dalam hal ini ada beberapa pendapat.[23]
Fuqaha dan Ahli Ushul mengenai hukum talfiq ini, yakni boleh atau tidaknya seseorang berindah mazhab, baik secara keseluruhan maupun sebagian mereka terbagi kepada tiga pendapat.[24] Pendapat tersebut adalah sebagai berikut :
a.    Pendapat pertama, mengatakan bila seseorang telah memiliki (memilih) salah satu mazhab, maka ia harus tetap pada mazhab yang telah dipilihnya itu. Ia tidak dibenarkan pindah kepada mazhab yang lain, baik secara keseluruhan maupun sebagian.
Keadaan orang itu sama dengan seorang mujtahid manakala sudah memilih salah satu dalil maka ia harus tetap berpegang pada dalil itu. Sebab dalil yang dipilihnya itu adalah dalil yang dipandangnya kuat, sebaliknya dalil yang tidak dipilihnya adalah dalil yang dipandangnya lemah. Pertimbangan rasio dalam kondisi seperti itu menghendaki orang yang bersangkutan untuk mengamalkan dalil yang dipandangnya kuat dan mempertahankannya. Atas dasar ini maka talfiq hukumnya haram. Golongan ini dipelopori oleh sebagian dari ulama Syafiiyah terutama Imam Al-Quffal Syasyi.
b.    Pendapat kedua, mengatakan bahwa seseorang yang telah memilih salah satu mazhab boleh berpindah ke mazhab yang lain walaupun untuk mencari keringanan dengan ketentuan hal itu tidak terjadi dalam satu kasus hukum yang menurut mazhab pertama dan mazhab kedua sama-sama memandang batal (tidak sah). Atas dasar ini maka talfiq dapat dibenarkan. Pendapat ini dipelopori oleh Imam Al-Qarafi ulama besar dari Malikiyah.
c.    Pendapat ketiga, berpendirian bahwa seorang yang telah memilih salah satu mazhab tidak ada larangan agama terhadap dirinya untuk pindah ke mazhab lain, walaupun didorong untuk mencari keringanan. Ia dibenarkan mengambil pendapat dari tiap-tiap mazhab yang dipandangnya mudah dan gampang, dengan alasan Rasulullah sendiri kalau disuruh memilih antara dua perkara beliau memilih yang paling mudah selama hal itu tidak membawa dosa. Di dalam salah satu hadisnya juga dikatakan bahwa, beliau senang mempermudah urusan umatnya, juga ada hadis yang mengatakan bahwa agama itu mudah.
Maka, menurut pendapat ini dengan berdasarkan alasan di atas talfiq hukumnya mubah (boleh). Golongan ini dipelopori oleh Imam Al-Kamal Humam dari ulama Hanafiah, beliau berkata, “Tidak boleh kita halangi seseorang mengikuti yang mudah-mudah, karena seseorang boleh mengambil mana saja yang enteng apabila ia memperoleh jalan untuk itu”.
Menurut M. Ali Hasan dari segi kemaslahatannya, talfiq diperbolehkan sebagaimana pendapat  Al-Kamal Humam di atas, dengan beberapa alasan yaitu:
a.    Tidak ada nash yang mewajibkan seseorang harus terikat kepada salah satu mazhab.
b.    Pada hakikatnya talfiq hanya berlaku pada masalah fiqhiyah.
c.    Mewajibkan seseorang terikat kepada salah satu mazhab berarti akan mempersulit umat. Hal ini bertentangan dengan prinsip hukum Islam yang menyatakan ada kemudahan dan kemaslahatan.
d.   Pendapat yang membenarkan harus bermazhab adalah dari para ulama mutaakhirin setelah mereka dijangkiti penyakit fanatik mazhab.
e.    Memperbolehkan talfiq tidak hanya akan membawa kelapangan, tetapi akan membawa kepada hukum Islam yang dinamis.
f.     Kenyataan yang terjadi di kalangan sahabat, bahwa orang boleh meminta penjelasan hukum kepada sahabat yang yunior, walaupun ada sahabat yang lebih senior.[25]
Sedangkan Ulama Jumhur mengklasifikasikan talfiq kepada dua macam yaitu:
a.    Talfiq yang dibolehkan, yaitu mengambil yang teringan diantara pendapat-pendapat para mujtahid (mazhab) dalam beberapa masalah yang berbeda-beda. Mereka beralasan bahwa talfiq sesuai dengan prinsip penetapan hukum yang ditunjukkan syara yaitu tidak menyulitkan. Tetapi kemudahan yang diberikan oleh agama tersebut itu jangan dimudah-mudahkan. Para ulama membolehkan talfiq ini dengan tujuan untuk memperkecil fanatisme terhadap satu mazhab atau menghindarkan perpecahan di kalangan umat Islam. Contohnya seseorang berwhudu menurut syarat-syarat yang dituntut oleh mazhab Syafii kemudian pada saat-saat yang lain dia berwudhu mengambil syarat-syarat sebagaimana yang ditentukan oleh mazhab Hanafi, ini diperbolehkan karena bagi seorang mukallaf diizinkan mengamalkan yang lebih ringan bila memang tidak ada jalan lainnya. Yakni ia tidak mencabut amal yang telah dikerjakannya menurut satu mazhab untuk diganti menurut mazhab yang lain. Jelasnya wudhu pertama menurut mazhab Syafii telah selesai dan dipergunakan untuk suatu keperluan hingga selesai juga, kemudian wudhu kedua menurut mazhab Hanafi telah selesai dan dipergunakan untuk keperluan yang lain. Biar masalahnya serupa tapi peristiwanya berbeda.
b.    Talfiq yang tidak dibolehkan, yaitu mengambil yang teringan diantara pendapat-pendapat para mujtahid dalam suatu masalah. Contohnya seorang mengadakan akad nikah tanpa menggunakan wali menurut mazhab Hanafi dan tanpa memakai dua saksi menurut mazhab Imam Malik. Akad nikah yang mereka lakukan adalah fasid (batal) dari dua jurusan. Ia tidak boleh beralasan bahwa agama itu mudah dan tidak menyakitkan. Sebab tempat kemudahan dalam agama itu sudah diketahui oleh orang umum. Dan andaikata kemudahan itu bertempat disembarang tempat secara meluas niscaya beban taklif manusia akan gugur semuanya. Bagi Ulama yang tidak memperbolehkan talfiq ini mereka adalah kelompok yang berpegang teguh kepada pendapat para Imamnya yang telah dijangkiti penyakit taqlid dan fanatik mazhab.
3.    Sebab-sebab Terjadinya Talfiq
Talfiq merupakan istilah yang lahir sebagai reaksi dari berjangkitnya taqlid yang telah melanda umat yang cukup lama, kemudian talfiq muncul bersamaan dengan kebangkitan kembali umat Islam dan eksistensinya membawa pro dan kontra di kalangan umat (fuqaha). Talfiq merupakan istilah yang relatif baru dalam lapangan fiqh.[26]
Persoalan talfiq ini, tidak ditemukan di dalam kitab-kitab ulama salaf bahkan tidak pernah dibicarakan secara serius di kalangan mereka. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa talfiq sebenarnya adalah masalah baru yang kita kenal di dalam permasalahan fiqh dewasa ini yang sengaja dibuat oleh ulama-ulama kahalaf (mutaakhirin), khususnya pada abad kelima hijriah. Ulama-ulama Mutaakhirin yang memproklamirkan bahwa pintu ijtihad telah tertutup mengakibatkan berjangkitnya penyakit taqlid yang mulai dirasakan oleh dunia Islam, khususnya ulama-ulama Islam ketika itu.[27]
Dari sinilah muncul pendapat bahwa seorang harus terikat dengan salah satu mazhab lain, baik secara keseluruhan maupun sebagian. pindah dari satu mazhab ke mazhab lain secara sebagian inilah yang dikenal dengan istilah talfiq.
Pendapat semacam ini cukup menarik perhatian di dunia Islam bukan saja diikuti oeh orang-orang awam, tetapi juga oleh para ulamanya, Berabad-abad lamanya pendapat ini melanda dunia Islam termasuk Indonesia sekarang ini. Dengan adanya pendapat ini menurut Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, wawasan Islam khususnya menjadi sempit. Hal ini menyebabkan hukum Islam yang mestinya luwes (fleksibel) menjadi loyo, kaku, tidak sehat, dan tidak dinamis serta tidak mampu berdiri tegak untuk menjawab tantangan zaman. Ketidakberesan ini jelas tidak muncul dari hukum Islam melainkan muncul dari sikap ulama Islam yang tidak tepat dalam menundukkan hukum Islam, sebagai akibat dari adanya pendapat yang sempit sebagaimana disebutkan di atas tadi.[28]
Menurut Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, hal ini perlu diluruskan dengan cara menundukkan masalah talfiq secara proporsional. Untuk itu, perlu diadakan penelitian secara terpadu dengan mengkaji pendapat fuqaha dan para ahli ushul berdasarkan kitab-kitab Turats, kitab-kitab hadits (modern) sehingga kita nantinya dapat membandingkan antara pengkajian lama dengan pengkajian baru, selanjutnya kita menarjihkan mana yang lebih rasional dan sesuai dengan perkembangan masa kini, itulah yang kita mainkan.













BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari pengertian Taqlid dan Ittiba’ serta talfiq di atas maka dapat disimpulkan bahwa taqlid ini mengikuti atau mengambil pendapat seorang mujtahid tanpa mengetahui dasar dimana dalam taqlid ada hukum amaliyah yang tidak memerlukan penelitian dan ada pula taqlid yang memerlukan penelitian dan ijtihad, sedangkan mengikuti pendapat mujtahid dengan mengetahui sumber pengambilannya. memilih ajaran adalah merupakan perbuatan talfiq. Seseorang boleh bertaqlid apabila perkataan atau pendapat yang diikuti atau yang diterima itu tidak diketahui dasar atau alasannya apakah ada dalam Al-Qur’an dan hadits bahkan atau tidak sama sekali, akan tetapi taqlid ini hanya dilakukan selama belum diketahui dalil yang kuat yang dapat memecahkan persoalan tersebut.
Ittiba’ berarti menurut atau mengikuti semua yang diperintahkan, dilarang oleh Allah dan dibenarkan oleh Rasulullah SAW. Sedangkan orang yang mengikuti disebut muttabi’. Talfiq dilakukan untuk mencari-cari mana yang mudah dan mengambil dari tiap-tiap mazhab untuk mencari mana yang mudah.
Talfiq adalah menghimpun atau bertaqlid dengan dua imam madzhab atau lebih dalam satu perbuatan yang memiliki rukun, bagian-bagian yang terkait satu dengan lainnya yang memiliki hukum khusus. Ia kemudian mengikuti satu dari pendapat yang ada.
Bagi siapapun yang berkeinginan menjadi umat Rasulullah saw yang benar, taat dan patuh, hendaknya mengikuti apa yang beliau perintahkan (ittiba’) dan jangan mengikuti apa bukan dari rasulullah saw dan jangan sembarangan mengikuti apa yang bukan datang dari beliau melalui lisannya para ulama dan salafushalih karena tidak mengetahui dasar hukum (taklid). Begitupun janganlah kita termasuk umat beliau yang memilah dan memilih ajaran, yang mudah-mudah dilaksanakan yang dianggap sukar ditinggalkan. Pada dasarnya Islam datang membawa kemudahan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, cet. 7, 1995
Ali Syari’ati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, terj. M.S. Nasrulloh dan Afif Muhammad, cet.1, Bandung: Mizan, 1992
Dede Rosyada, Metode Kajian Hukum Dewan Hisbah Persis, Jakarta: Logos, 1999
Departemen Agama RI, Mushaf Quantum Tauhid: Al-qur’an dan Terjemahannya, Bandung: MQS Publishing, 2010
Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, cet. 2, Ushul Fiqih II, Bandung: Pustaka Setia, 2001
M Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, cet 4, 2002
M.T. Hasbi Ash Shiddiqy,  Pengantar Ilmu Fiqih,  Jakarta: Bulan Bintang, 1974
Miftahul Arifin dan Ahmad Faisal Haq, Ushul Fiqh Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam, Surabaya: Citra Media, 1997
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, cet. 4, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003
Yusuf Al-Qaradhawi, Bagaimana Berinteraksi Dengan Peninggalan Ulama Salaf, terj. Ahrul Tsani Fathurrahman dan Muhtadi Abdul Munim, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003


[1] Yusuf Al-Qaradhawi, Bagaimana Berinteraksi Dengan Peninggalan Ulama Salaf, terj. Ahrul Tsani Fathurrahman dan Muhtadi Abdul Munim, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003, hal. 87
[2] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, cet. 4, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003, hal. 61
[3] Ali Syari’ati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, terj. M.S. Nasrulloh dan Afif Muhammad, cet.1, Bandung: Mizan, 1992, hal. 61
[4] Ibid., hal. 73-74
[5] Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, cet. 2, Ushul Fiqih II, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hal. 155
[6]Departemen Agama RI, Mushaf Quantum Tauhid: Al-qur’an dan Terjemahannya, Bandung: MQS Publishing, 2010, hal. 26
[7]Ibid., hal. 156
[8] Ibid.
[9] Nazar Bakry, Op. Cit., hal. 60
[10] Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Op. Cit., hal. 163
[11] Ibid.
[12] Dede Rosyada, Metode Kajian Hukum Dewan Hisbah Persis, Jakarta: Logos, 1999, hal. 25
[13] Miftahul Arifin dan Ahmad Faisal Haq, Ushul Fiqh Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam, Surabaya : Citra Media, 1997, hal. 164
[14] Departemen Agama RI, Op. Cit., hal. 272
[15] Nazar Bakry, Op. Cit., hal. 60-61
[16] Departemen Agama RI, Op. Cit., hal. 308
[17] Yusuf Al-Qaradhawi, Op. Cit., hal. 101
[18] Departemen Agama RI, Op. Cit., hal. 301
[19] Khairul Uman, Ahyar Aminuddin, Op. Cit., hal. 163
[20] M Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, cet 4, 2002, hal. 89
[21] Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Op. Cit., hal. 164
[22] M.T. Hasbi Ash Shiddiqy,  Pengantar Ilmu Fiqih,  Jakarta: Bulan Bintang, 1974, hal. 237
[23]Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, cet. 7, 1995, hal. 177
[24] Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Op. Cit., hal. 165
[25] M. Ali Hasan, Op. Cit., hal. 91
[26] Ibid., hal 89
[27] Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Op. Cit., hal. 171-172
[28] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar