jam berapa yahhh? :O

Rabu, 27 November 2013

Manusia dan Spiritualitas



MANUSIA DAN SPIRITUALITAS
Oleh : Shofa Rizqy Martita
BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Problematika idividu dengan Tuhannya ialah kegagalan seseorang melakukan hubungan interaksi vertikal dengan Tuhannya, seperti sangat sulit untuk menghadirkan rasa takut dan rasa taat bahwa Dia selalu mengawasi perbuatan dan perilaku setiap individu. Sehingga berdampak kepada rasa malas dan enggan melakukan ibadah dan kesulitan untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang dilarang dan dimurkai Tuhannya.
Problematika individu dengan dirinya sendiri ialah kegagalan bersikap disiplin dan bersahabat dengan hati nuraninya sendiri yakni hati nurani yang selalu mengajak, menyeru dan membimbing kepada kebaikan dan kebenaran Tuhannya. Sehingga muncul sikap was-was, peragu, berprasangka buruk, lemah motivasi dan tidak mampu bersikap mandiri dalam melakukan segala hal.
Dari problem-problem itulah muncul keadaan stres dan depresi apabila seseorang tidak memiliki daya tahan mental dan spiritual yang tangguh. Keimanan yang lemah sangat rentan dan mudah tertimpa keadaan itu. Utamanya adalah kekuatan iman dan ketakwaan pasti akan menghasilkan daya tahan mental yang kokoh dan kuat dalam menghadapi berbagai problem hidup dan kehidupan.
B.  Rumusan Masalah
1.    Apa itu manusia?
2.    Di mana posisi manusia ?
3.    Apa saja klasifikasi manusia?
4.    Bagaimana tentang spiritualitas yang ada dalam jiwa manusia?
BAB II
PEMBAHASAN
A.  MANUSIA
1.    Pengertian Manusia
Manusia adalah makhluk Allah yang tersusun dari bentuk-bentuk lahir (yang disebut badan atau jasad) dan bentuk-bentuk bathin (yang disebut qalbu atau jiwa). Qalbu sendiri bukanlah segumpal daging yang dinamakan jantung. Tetapi adalah Roh suci dan berpengaruh dalam tubuh dan dialah yang mengatur jasmani dan segenap anggota badan. Dialah hakekat insan (yang dinamakan diri yang sebenarnya diri).[1]
Manusia adalah salah satu makhluk Allah yang paling sempurna, baik dari aspek jasmaniyah lebih-lebih rohaniyahnya, karena kesempurnaanya itulah ,maka untuk dapat memahami, mengenal secara dalam dan totalitas dibutuhkan keahlian yang spesifik. Dan hal itu tidak mungkin dilakukan tanpa melalui studi yang panjang dan hati-hati tentang ”manusia” melalui Al-Qur’an dan sudah tentu di bawah bimbingan dan petunjuk Allah, serta berparadigma kepada proses pertumbuhan dan perkembangan eksistensi yang terdapat pada para Nabi, Rosul dan khususnya Nabi Muhammad SAW.
2.    Posisi Manusia
Allah menciptakan manusia dan memerintahkan malaikat-Nya untuk bersujud, serta memuliakannya dari makhluk Allah yang lain dengan berbagai kemampuan pada akalnya, yang membuatnya mampu mencapai ma’rifat kepada-Nya. Hal ini dikarenakan manusia mencapai derajat yang tidak pernah dicapai oleh makhluk yang lain.
Allah meniupkan Ruh-Nya ke dalam diri manusia. Dia menciptakan bumi dan menempatkan manusia di dalamnya, serta mempersiapkannya untuk hidup di dalamnya dan Dia pun menciptakan tubuh manusia dari unsur bumi. Sebagaimana Firman Allah QS. Shad: 71-72 :
اِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلئِكَةِ خَلِقًا بَشَرًا مِّنْ طِيْنٍ() فَاِذَا سَوَّيْتُه وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُوْحِيْ فَقَعُوْا لَه سَاجِدِيْنَ()
(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Kemudian apabila telah Aku sempurnakan kejadiannya dan Aku tiupkan roh (ciptaan)-Ku kepadanya; maka tunduklah kamu dengan bersujud kepadanya."[2]
Setiap kita terdiri dari unsur jasad dan ruh. Jasad dengan segala kebutuhannya menarik manusia ke bumi. Adapun ruh, ia membawanya naik ke langit. Setiap kali mendekat ke bumi, ia semakin jauh dari langit, sehingga hubungannya dengan Allah melemah. Bahkan, terkadang ia sampai pada kondisi di mana hubungannya dengan Allah terputus sama sekali, dan ia menjadi orang yang sangat lekat dengan bumi.[3] Inilah yang kita dapati dalam firman Allah QS. Al-A’raf: 176 :
وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنهُ بِهَا وَلكِنَّه اَخْلَدَ اِلَى الْاَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوىهُ فَمَثَلَه كَمَثَلِ الْكَلْبِ اِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ اَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِايتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ()
Dan sekiranya Kami menghendaki niscaya Kami tinggikan (derajat)nya dengan (ayat-ayat) itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan mengikuti keinginannya (yang rendah), maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya dijulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya ia menjulurkan lidahnya (juga). Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berpikir.[4]
Begitu pula sebaliknya, setiap kali ruh dan hati manusia lepas dari ikatan-ikatan bumi, ia akan naik ke langit, sehingga hubungannya dengan pencipta semakin kuat, mencapai derajat penisbatan kepada-Nya, sehingga ia pun menjadi hamba yang rabbani. Oleh karena itu, hanya ada satu pilihan dalam penisbatan ini; ke bumi atau ke langit.[5]
3.    Klasifikasi Manusia
Nabi menyebutkan ada tiga klasifikasi manusia, yaitu:
a.    Orang yang secara fisik manusia, tetapi hakikatnya ia masih hewan.
b.    Manusia yang jiwanya termasuk kategori jiwa setan.
c.    Manusia pilihan.[6]
B.  SPIRITUALITAS
Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap orang mempunyai keinginan dalam dirinya untuk mengetahui dan mengenal dalam kebenaran yang hakiki. Dorongan hati yang bersembunyi itu bisa saja tidak terlalu menonjol dalam diri seseorang sehingga tidak terlihat dipermukaan, tetapi konsepsi spiritual tersebut bisa saja sewaktu-waktu bangkit.
Di samping pandangan sesat sebagian orang-orang munafik, yaitu mereka yang menganggap Tuhan adalah ilusi semata. Di pihak lain dalam waktu bersamaan mereka tetap masih mempercayai tentang adanya ‘kebenaran abadi’.[7]
Demikianlah, manusia hanya membawa serta agama ketika mereka hadir dalam dimensi spiritual yang termanifestasi dalam ajaran moral dan ritualitas. Agama tidak datang dalam urusan politik, ekonomi, hukum, sosial dan urusan keduniaan yang lain. Padahal, secara personal, seorang manusia mungkin bisa hidup tanpa menghiraukan urusan politik, namun secara kolektif umat manusia tidak mungkin bisa hidup harmonis di muka bumi ini tanpa tatanan politik. Seperti kata Ibnu Kholdun, manusia itu secara alami merupakan makhluk sosial yang membutuhkan kepemimpinan.[8]
C.  HUBUNGAN ANTARA MANUSIA DAN SPIRITUALITAS
Manusia memang memiliki ruh dalam arti nyawa. Namun pada faktanya, dalam diri manusia tidak ada dua unsur pembentuk yang menarik manusia kepada dua kecenderungan yang berbeda, yakni unsur jasad menarik kearah pemenuhan kepentingan duniawi dan unsur jiwa/roh yang menarik kepada pemenuhan kepentingan ukhrowi (moral dan ritual). Kenyataannya, semua perbuatan manusia dipengaruhi oleh dorongan kebutuhan-kebutuhan fisik (al-hajatul ‘udlwiyah) dan naluriah (al-ghoro’iz). Kebutuhan fisik contohnya adalah kebutuhan untuk makan, minum, buang hajat dan tidur; sedangkan kebutuhan naluri contohnya adalah naluri untuk melestarikan jenis manusia (ghorizatun nau’), naluri untuk mempertahankan diri (ghorizatul baqo’), dan kebutuhan untuk mensucikan dan mengagungkan dzat yang lebih agung dan sempurna (ghorizatut tadayyun).

Sebenarnya, sesuatu yang mendorong manusia untuk cenderung melakukan perbuatan terpuji dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya bukanlah  unsur halus yang bersemayam dalam diri manusia. Dorongan itu sebenarnya berasal dari kesadaran yang ia miliki akan hubungannya dengan Allah Ta’ala (al idrok lishillatihi billah). Kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi inilah yang membuat manusia taat kepadaNya. Ia –kesadaran tersebut- akan menguat tatkala mendengarkan nasehat yang sangat menyentuh, melihat fenomena yang menampakkan keagungan Allah, atau tatkala termotivasi oleh orang lain yang melaksanakan ibadah dengan lebih baik. Kesadaran itu pula yang melemah atau hilang tatkala manusia tergoda untuk melaksanakan maksiat atau meninggalkan suatu kewajiban. Kesadaran yang kadang menguat dan kadang pula melemah inilah sebenarnya yang mereka sebut dengan ruh. Disebut ruh karena –secara rancu- kesadaran ini dianggap sebagai salah satu unsur penyusun manusia, berupa jiwa yang bersemayam di dalam diri manusia. Padahal, keberadaan ruh yang berarti kesadaran itu jelas bukan merupakan unsur penyusun manusia melainkan hasil  prestasi manusia dalam memahami, menyadari dan memunculkan kesadaran bahwa dirinya selalu diawasi dan dinilai oleh Allah.[9]

Eksistensi ruh dalam diri seorang muslim menuntutnya untuk selalu mengendalikan seluruh perbuatan yang ia lakukan dengan hukum-hukum syara’. Maka selama ruh itu ada dalam benaknya, seorang muslim –kemanapun dia pergi- akan selalu berjalan di atas hukum syara’ laksana kereta api yang selalu berjalan di atas relnya. Kehadiran ruh tersebut mendorong seorang muslim untuk melaksanakan sholat, haji, puasa dan aktivitas ritual lain sesuai dengan hukum syara’. Hadirnya ruh juga mendorong manusia untuk melaksanakan bisnis, jual-beli, hutang-piutang, bekerja, bergaul, berumah-tangga, sampai menata pemerintahan menggunakan hukum syara’.

Dengan demikian, sebenarnya dalam Islam tidak ada dikotomi antara urusan dunia dengan urusan akhirat. Pengawasan dan penilaian Allah atas seluruh amal perbuatan manusia yang membawa konsekuensi pahala dan siksa merupakan benang merah yang menghubungkan antara dunia dan akhirat. Semuanya adalah amalan dunia, namun semuanya akan membawa dampak di akhirat. Dr. Abdul Qodir ‘Audah menyatakan:

“hukum-hukum Islam dengan segala jenis dan macamnya diturunkan untuk kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu, setiap aktivitas duniawi selalu memiliki aspek ukhrowi. Maka aktivitas ibadah, sosial kemasyarakatan, persanksian, perundang-undangan atau pun kenegaraan semuanya memiliki pengaruh yang dapat dirasakan di dunia … akan tetapi, perbuatan yang memiliki pengaruh di dunia ini juga memiliki pengaruh lain di akhirat, yaitu pahala dan sanksi akhirat”.[10]










BAB III
PENUTUP
Manusia sebagai hamba Allah telah diposisikan sebagai khalifah di muka bumi ini serta mengatur dan memakmurkan kehidupan dimuka bumi ini. Manusia disamping dianggap mampu melaksanakan juga dipercaya dalam misi ini oleh Allah. Dalam kehidupan ini manusia telah dibekali potensi diri untuk dikembangkan dalam bentuk spiritualitas. Dengan pengembangan diri ini manusia akan mempunyai kemampuan beradaptasi dan menjalankan ibadah secara ikhlas hanya kepada sang Illahi. Karena pada dasarnya manusia diciptakan hanya untuk menyembah kepada Allah untuk bisa mencapai arti hubungan manusia dan spiritualitas.
Demikian makalah ini kami buat. Dengan harapan semoga memberikan manfaat bagi kami khususnya dan teman-teman semua umumnya.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam pembuatan makalah ini masih terlalu jauh dari kesempurnaan. Untuk itu demi kesempurnaan makalah kami selanjutnya kritik dan saran sangatlah kami harapkan.







DAFTAR PUSTAKA
Abdul Qodir ‘Audah, Al Islam baina Jahli Abna’ihi wa ‘Ajzi ‘Ulama’ihi , tt: al Itihad al Islami al ‘Alami lil Munadhomat ath thulabiyah, 1985
Abdur Rahman bin Kholdun, Muqodimah Ibn Kholdun, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, Beirut, 2006, cet. IX
Allamah Husayn Tabataba’i, dkk., Perjalanan Ruhani Para Kekasih Allah, Inisiasi Press, Depok, 2005
Dr. Majdi Al-Hilali, Menjadi Hamba Rabbani, Maghfirah Pustaka, Jakarta, 2005
Dr. Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1998
Prof. Dr. Ahmad Mubarok, MA., Meraih Kebahagiaan dengan Bertasawuf : Pendakian menuju Allah, Paramadina, Jakarta, 2005
Tim Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama RI, Mushaf Quantum Tauhid, MQS Publishing, Bandung, 2010


[1] Dr. Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1998, hlm.121-122
[2] Tim Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama RI, Mushaf Quantum Tauhid, MQS Publishing, Bandung, 2010, hlm.457
[3] Dr. Majdi Al-Hilali, Menjadi Hamba Rabbani, Maghfirah Pustaka, Jakarta, 2005, hlm.18
[4] Tim Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama RI, Op Cit, hlm.173
[5] Dr. Majdi Al-Hilali, Op Cit, hlm.19
[6] Prof. Dr. Ahmad Mubarok, MA., Meraih Kebahagiaan dengan Bertasawuf : Pendakian menuju Allah, Paramadina, Jakarta, 2005, hlm.67
[7] Allamah Husayn Tabataba’i, dkk., Perjalanan Ruhani Para Kekasih Allah, Inisiasi Press, Depok, 2005, hlm.1
[8] Abdur Rahman bin Kholdun, Muqodimah Ibn Kholdun, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, Beirut, 2006, cet. IX, hlm.33
[9] Abdul Qodir ‘Audah, Al Islam baina Jahli Abna’ihi wa ‘Ajzi ‘Ulama’ihi , tt: al Itihad al Islami al ‘Alami lil Munadhomat ath Thulabiyah, 1985, hlm.8
[10] Ibid, hlm.8