jam berapa yahhh? :O

Senin, 05 Mei 2014

Sejarah Ekonomi Islam "PEMIKIRAN IMAM ABU YUSUF DAN ASY SYAIBANI"



PEMIKIRAN IMAM ABU YUSUF DAN ASY SYAIBANI


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejarah merupakan potret manusia di masa lampau yang merupakan laboratorium kehidupan yang sesungguhnya.  Tiap generasi ada zamannya, begitupun sebaliknya, setiap zaman ada generasinya. Dimensi masa depan dengan segala persoalannya dari zaman kapanpun selalu saja sampai kepada manusia berikutnya dalam bentuk kebaikan untuk diteladani maupun sesuatu yang buruk sebagai pelajaran untuk tidak dilakukan lagi.
Menampilkan pemikiran ekonomi para cendekiawan muslim terkemuka akan memberikan kontribusi positif bagi umat Islam, setidaknya dalam dua hal; pertama, membantu menemukan berbagai sumber pemikiran ekonomi Islam kontemporer dan kedua memberikan kemungkinan kepada kita untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai perjalanan pemikiran Islam selama ini.
Konsep ekonomi para cendekiawan muslim berakar pada hukum Islam yang bersumber dari firman Allah dan hadits Nabi yang merupakan hasil interpretasi dari berbagai ajaran Islam yang bersifat abadi dan universal, mengandung sejumlah perintah dan prinsip umum bagi perilaku individu dan masyarakat serta mendorong umatnya untuk menggunakan kekuatan akal pikiran mereka.
Kajian-kajian terhadap perkembangan sejarah ekonomi Islam merupakan ujian-ujian empirik yang diperlukan bagi setiap gagasan ekonomi. Ini memiliki arti yang sangat penting, terutama dalam kebijakan ekonomi dan keuangan negara secara umum.
B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana sumbangan pemikiran Abu Yusuf dan Asy Syaibani terhadap pengembangan Ekonomi Islam?
2.    Apa karya abu Yusuf dan Asy Syaibani yang membantu pengembangan Ekonomi Islam pada masa itu?
BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pemikiran Abu Yusuf dalam Ekonomi
1.    Biografi
Ya`qub bin Ibrahim bin Habib bin Khunais bin Sa`ad Al-Anshari, atau yang sering dikenal Abu Yusuf, lahir di Kufah pada tahun 113 H (731 M) dan meninggal dunia tahun 182 H (789 M).[1] Ibunya masih mempunyai hubungan darah dengan salah satu sahabat nabi yaitu Sa`ad Al Anshori. Kota kelahiran beliau merupakan salah satu pusat peradaban pemerintahan islam dan tempat para cendikiawan muslim dari seluruh penjuru dunia islam datang untuk saling bertukar pikiran tentang berbagai pikiran Ilmu pengetahuan.
Dalam belajar, beliau sangat gigih dan menunjukkan kemampuan yang tinggi sebagai ahlul hadits dan ahlur ra’yi yang dapat menghafal sejumlah hadits. Hingga kemudian beliau mendalami ilmu fiqh yang dipelajarinya pada Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila atau Ibnu Abi Laila. Kemudian beliau belajar pada Imam Abu Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi. Karena melihat bakat dan semangat serta ketekunan Abu Yusuf dalam belajar, Imam Abu Hanifah menyanggupi untuk membiayai semua keperluan pendidikannya, bahkan biaya hidup keluarganya. Imam Abu Hanifah sangat mengharapkan agar Abu Yusuf kelak dapat melanjutkan dan menyebarluaskan Mazhab Hanafi ke berbagai dunia Islam. Sebagai bentuk penghormatan dan pengakuan pemerintah atas keluasan dan kedalaman ilmunya, Khalifah Dinasti Abbasiyah, Harun ar Rasyid, mengangkat Abu Yusuf sebagai ketua Mahkamah Agung (Qadhi al Qudhah).[2]
Meskipun disibukkan dengan berbagai aktivitas mengajar dan birokrasi, Abu Yusuf masih meluangkan waktu untuk menulis. Beberapa karyanya yang terpenting adalah: al Jawami`, ar Radd `ala Siyar al Auza`i, al Atsar, Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibn Abi Laila, Adab al Qadhi dan al Kharaj.[3]
2.    Kitab Al Kharaj
Kitab ini ditulis untuk merespon permintaan Khalifah Harun Al Rasyid tentang ketentuan-ketentuan agama Islam yang membahas masalah perpajakan, pengelolaan pendapatan dan pembelanjaan publik. Abu Yusuf menuliskan bahwa Amir al-Mu’minin telah memintanya untuk mempersiapkan sebuah buku yang komprehensif yang dapat digunakan sebagai petunjuk pengumpulan pajak yang sah, untuk menghindari penindasan terhadap rakyat. Al Kharaj merupakan kitab pertama yang menghimpun semua pemasukan dan pengeluaran negara berdasarkan dalil Al Qur`an dan sunnah Rasul SAW. Kitab ini dapat digolongkan sebagai public finance dalam pengertian ekonomi modern. Pendekatan yang dipakai dalam kitab al-Kharaj sangat pragmatis dan bercorak fiqh. Kitab ini berupaya membangun sebuah sistem keuangan publik yang mudah dilaksanakan yang sesuai dengan hukum islam yang sesuai dengan persyaratan-persyaratan ekonomi. Dengan pengamatan (observasi) yang tinggi dan analisisnya yang tinggi, Abu Yusuf dalam kitab ini sering menggunakan ayat-ayat Al Qur’an dan Sunnah Nabi saw serta praktek dari para penguasa saleh terdahulu sebagai acuannya sehingga membuat gagasan-gagasannya relevan dan mantap.[4]
Prinsip-prinsip yang ditekankan oleh Abu Yusuf  dalam perekonomian, dapat disimpulkkan bahwa pemikiran ekonomi Abu Yusuf sebenarnya tersimpul dalam al-Kharaj yang dapat disebut sebagai bentuk pemikiran ekonomi kenegaraan, mengupas tentang kebijakan fiskal, pendapatan negara dan pengeluaran.[5]
Penamaan al Kharaj terhadap kitab ini, dikarenakan memuat beberapa persoalan pajak, kaum nonmuslim wajib membayar jizyah, namun jika mereka meninggal maka jizyah tersebut tidak boleh dibayar oleh ahli warisnya. Jizyah dalam terminologi konvensional disebut dengan pajak perlindungan, yakni jasa keamanan yang diberikan negara islam kepada kaum non muslim. Bagi kaum non muslim yang ikut berperang, maka bagi mereka tidak dibebankan untuk membayar jizyah. Berdasarkan klasifikasi strata masyarakat maka jizyah bagi golongan kaya sebesar 4 dinar, golongan menengah 2 dinar dan kelas miskin 1 dinar. Tentang mereka yang enggan membayar jizyah, beliau menyatakan bahwa dalam menarik jizyah dari orang-orang non muslim tidak perlu dengan cara kekerasan tetapi dengan cara yang kekeluargaan yakni memberlakukan mereka layaknya teman, karena hal ini dapat memberikan pengaruh positif yaitu bertambah simpatinya kaum non muslim terhadap Islam., serta masalah-masalah pemerintahan.
Suatu studi yang komparatif mengenai buku itu menunjukkan bahwa berabad-abad sebelum adanya suatu kajian yang sistematis mengenai keuangan publik di Barat, Abu Yusuf telah berbicara tentang kemampuan dan kemudahan para pembayar pajak dalam pemungutan pajak. Ia menolak dengan tegas penanaman pajak dan menekankan pentingnya pengawasan yang ketat terhadap para pemungut pajak untuk menghindari korup dan penindasan. Ia dengan tulus menganggap penghapusan penindasan dan jaminan kesejahteraan rakyat sebagai tugas utama penguasa. Ia juga menekankan pembangunan infrastruktur dan menyarankan berbagai proyek kesejahteraan. Sumbangan utamanya terletak pada bidang keuangan publik. Namun, ada juga beberapa refleksi dalam bukunya tentang pasar dan penetapan harga, seperti bagaimana haarga itu ditentukan dan apa dampak pelbagai pajak. Disamping itu, buku tersebut mengkaji status non-muslim di negara Islam, tempat ibadah mereka dan hukum kriminal.[6]
3.    Sistem Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf
Sebagai seorang fuqaha dengan latar belakang beraliran ahl ar-Ra’yu, Abu Yusuf cenderung memaparkan berbagai pemikiran ekonominya dengan menggunakan perangkat analisis qiyas yang didahului dengan melakukan kajian yang mendalam terhadap Al Qur’an, Hadits Nabi, Atsar Shahabi, serta praktik para penguasa yang shalih. Landasan pemikirannya adalah mewujudkan kemaslahatan umum. Pendekatan ini membuat berbagai gagasannya lebih relevan dan mantap.[7]
Seperti yang sudah tertulis bahwa kekuatan utama pemikiran Abu Yusuf adalah dalam masalah keuangan publik. Dengan daya observasi dan analisisnya yang tinggi, Abu Yusuf menguraikan masalah keuangan dan menunjukkan beberapa kebijakan yang harus diadopsi bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Terlepas dari berbagai prinsip perpajakan dan pertanggung jawaban negara terhadap kesejahteraan rakyatnya, Ia memberikan beberapa saran tentang cara-cara memperoleh sumber pembelanjaan untuk pembangunan jangka panjang seperti membangun jembatan dan bendungan serta menggali saluran-saluran besar dan kecil.[8]
Dalam hal yang berhubungan pemerintahan Abu Yusuf menyusun sebuah kaidah fiqh yang sangat populer, yaitu Tasrruf al-Imam `ala Ra`iyyah Manutun bi al-Mashlaha (setiap tindakan pemerintah yang berkaitan dengan rakyat senantiasa terkait dengan kemaslahatan mereka). Ia menekankan pentingnya sifat amanah dalam mengelola uang negara, uang negara bukan milik khalifah, tetapi amanat Allah dan rakyatnya yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab.[9]
a.    Negara dan Aktivitas Ekonomi
Dalam pandangan Abu Yusuf, tugas utama penguasa adalah mewujudkan serta menjamin kesejahteraan rakyatnya. Ia selalu menekankan pentingnya memenuhi kebutuan rakyat dan mengembangkan berbagai proyek yang berorientasi kepada kesejahteraan umum. Dengan mengutip pernyataan Umar bin Khattab, Ia mengungkapkan bahwa sebaik-baik penguasa adalah mereka yang memerintah demi kemakmuran rakyatnya dan seburuk-buruk penguasa adalah mereka yang memerintah tetapi rakyatnya malah menemui kesulitan.
Abu Yusuf menyatakan bahwa negara bertanggung jawab untuk memenuhi pengadaan fasilitas infrastruktur agar dapat meningkatkan produktifitas tanah, kemakmuran rakyat serta pertumbuhan ekonomi. Ia berpendapat bahwa semua biaya yang dibutuhkan bagi pengadaan proyek publik, seperti pembangunan tembok dan bendungan, harus ditanggung oleh negara. Namun demikian, Abu Yusuf menegaskan bahwa jika proyek tersebut hanya menguntungkan suatu kelompok tertentu, biaya proyek akan dibebankan kepada mereka sepantasnya. Pernyataan ini tampak telihat ketika ia mengomentari proyek pembersihan kanal-kanal pribadi.
Menarik dicatat persepsi Abu Yusuf tentang pengadaan barang-barang publik muncul dalam teori konvensional tentang keuangan publik. Teori konvensional mengilustrasikan bahwa barang-barang sosial yang bersifat umum harus disediakan secara umum oleh negara dan dibiayai oleh kebijakan anggaran. Akan tetapi, jika manfaat barang-barang publik tersebut diinternalisasikan dan mengonsumsinya berlawanan dan mungkin menghalangi pihak yang lain dalam memanfaatkan proyek tersebut, maka biaya akan dibebankan secara langsung.[10]
Dalam menganalisis gagasan Abu Yusuf yang berkaitan dengan pengadaan barang-barang publik atau umum, bahwa proyek-proyek irigasi di sungai-sungai besar yang manfaatnya digunakan untuk umum maka harus dibiayai oleh keuangan negara. Karena manfaatnya secara umum, pelarangan atas seseorang untuk memanfaatkannya tidak mungkin dan tidak dapat dilakukan. Sebaliknya dalam kasus kenal milik pribadi, dimana manfaatnya diinternalisasikan dan pelarangan bagi umum dapat dilakukan, maka pembiayaannya akan dibebankan pada orang-orang yang memperoleh langsung manfaat dari fasilitas seperti itu.[11]
b.   Perpajakan menurut Abu Yusuf
Abu Yusuf cenderung menyetujui negara mengambil bagian dari hasil pertanian dari para penggarap daripada menarik sewa dari lahan pertanian. Dalam pandangannya, cara ini lebih adil dan tampaknya akan memberikan hasil produksi yang lebih besar dengan memberikan kemudahan dalam memperluas tanah garapan. Dalam hal pajak, Ia telah meletakan prinsip-prinsip yang jelas yang berabad-abad kemudian dikenal oleh para ahli ekonomi sebagai canons of taxation. Kesanggupan membayar, pemberian waktu yang longgar bagi pembayar pajak dan sentralisasi pembuatan keputusan dalam administrasi pajak adalah beberapa prinsip yang ditekankannya.[12] Misalnya Abu Yusuf juga mengangkat kisah khalifah Umar bin Khattab yang menghadapi kaum nasrani bani Tlaghlab. Mereka adalah orang arab yang anti pajak. “Maka jangan sekali-kali kamu engkau jadikan mereka sebagai musuh (karena tidak mau membayar pajak), maka ambillah dari mereka pajak dengan atas nama sedekah. Karena mereka sejak dulu mau membayar sedekah dengan berlipat ganda asal tidak bernama pajak.” Mendengar hal itu pada mulanya khalifah Umar menolak usulan ini, tetapi kemudian hari justru menyetujuinya, sebab di dalamnya terdapat unsur mengais manfaat dan mencegah mudharat.[13] Sebagai contoh dalam sentralisasi pembuatan keputusan dalam administrasi pajak.
     Abu Yusuf dengan keras menentang pajak pertanian. Ia menyarankan agar petugas pajak diberi gaji dan perilaku mereka harus diawasi untuk mencegah korupsi dan praktek penindasan. Dan mengusulkan penggantian system pajak tetap (lump sum system) atas tanah menjadi pajak proporsional atas hasil pertanian. Sistem proporsional ini lebih mencerminkan rasa keadilan serta mampu menjadi automatic stabilizer bagi perekonomian sehingga dalam jangka panjang perekonomian tidak akan berfluktuasi terlalu tajam.[14]
     Sistem pajak ini didasarkan pada hasil pertanian yang sudah diketahui dan dinilai, sistem tersebut mensyaratkan penetapan pajak berdasarkan produksi keseluruhan, sehingga sistem ini akan mendorong para petani untuk memanfaatkan tanah tandus dan mati agar memperoleh bagian tambahan. Dalam menetapkan angka, Abu Yusuf menganggap sistem irigasi sebagai landasannya, perbedaan angka yang diajukannya adalah sebagai berikut:
1)   1.40 % dari produksi yang diairi oleh hujan alamiah
2)   2.30 % dari produksi yang diairi secara artificial
3)   3.1/3 % dari produksi tanaman (pohon palm, kebun buah-buahan dan sebagainya)
4)   4.¼ % dari produksi tanaman musim panas.[15]
c.    Mekanisme Harga/Penentuan Harga
Abu Yusuf tercatat sebagi ulama terawal yang mulai menyinggung mekanisme pasar. Ia misalnya memerhatikan peningkatan dan penurunan produksi dalam kaitannya dengan perubahan harga.[16]
Abu Yusuf menyatakan bahwa hasil panen yang berlimpah bukan alasan Untuk menurunkan harga panen dan sebaliknya, kelangkaan tidak mengakibatkan harganya melambung. Pendapat Abu Yusuf ini merupakan hasil observasi. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa ada kemungkinan kelebihan hasil dapat berdampingan dengan harga yang tinggi dan kelangkaan dengan harga yang rendah. Namun di sisi lain, Abu Yusuf juga tidak menolak peranan permintaan dan penawaran dalam penentuan harga.[17] Tapi kelihatannya Abu Yusuf ingin mengatakan bahwa kenyataannya harga tidak hanya bergantung pada kekuatan penawaran tetapi juga permintaan. Karena itu peningkatan atau penurunan harga tidak selalu berhubungan dengan penurunan atau peningkatan dalam produksi. Secara tegas Ia mengatakan ada beberapa variabel-variabel lain yang mempengaruhi, namun beliau tidak menjelaskan secara rinci, variabel-variabel apa saja itu.[18]
Tapi bisa dari variabel itu adalah pergeseran dalam permintaan atau jumlah uang yang beredar di suatu negara, atau penimbunan dan penahanan barang, atau semua hal tersebut. Menurut Siddiqi sebagaimana yang telah dikutip oleh Adiwarman, bahwa ucapan Abu Yusuf harus diterima sebagai pernyataan dari hasil pengamatan pada saat itu, yakni keberadaan yang bersamaan antara melimpahnya barang dan tingginya harga serta kelangkaan barang dan harga rendah.[19]
Penting diketahui, para penguasa pada periode itu umumnya memecahkan masalah kenaikan harga dengan menambah suplai bahan makanan dan mereka menghindari kontrol harga. Kecendrungan yang ada dalam pemikiran ekonomi adalah membersihkan pasar dari praktek penimbunan, monopoli, dan pratek korup lainnya dan kemudian membiarkan penentuan harga kepada kekuatan permintaan dan penawaran.[20]
B.  Al-Syaibani dan Ekonomi Islam
1.    Biografi
Nama lengkap Al-Syaibani adalah Abu Abdillah Muhammad bin al-Hasan bin Farqad al-Syaibani. Beliau lahir pada tahun 132 H (750M) di kota Wasith, Ibu Kota Iraq pada masa akhir pemerintahan Bani Umawiyyah. Ayahnya berasal dari negeri Syaiban di wilayah jazirah Arab[21]. Di kota Kufah ia belajar fikih, sastra, bahasa dan hadits kepada para ulama setempat, seperti Mus’ar bin Kadam, Sufyuan Tsauri, Umar bin Dzar dan Malik bin Maghul. Pada periode ini pula, Al-Syaibani yang baru berusia 14 tahun berguru kepada Abu Hanifah selama 4 tahun. Setelah itu ia berguru kepada Abu Yusuf, salah seorang murid terkemuka dan pengganti Abu Hanifah, hingga keduanya tercatat sebagai penyebar mazhab Hanafi.[22]
Dalam menuntut ilmu, Al-Syaibani tidak hanya berinteraksi dengan para ulama ahl al-ra’yi, tetapi juga ulama ahl al-hadits. Ia layaknya para ulama terdahulu, berkelana ke berbagai tempat, seperti Madinah, Makkah, Syria, Basrah dan Khurasan untuk belajar kepada para ulama besar, seperti Malik bin Anas, Sufyan bin ‘Uyainah dan Auza’i. ia juga pernah bertemu dengan Al-Syafi’i ketika belajar al-Muwatta’ pada Malik bin Anas. Hal tersebut memberikan nuansa baru dalam pemikiran fiqihnya.
Setelah memperoleh ilmu yang memadai, Al-Syaibani kembali ke Baghdad yang pada saat itu telah berada dalam kekuasaan Daulah Bani Abbasiyah. Di tempat ini ia mempunyai peranan yang penting dalam majelis ulama dan kerap didatangi para penuntut ilmu. Hal tersebut semakin mempermudahnya dalam mengembangkan mazhab Hanafi, apalagi ditunjang kebijakan pemerintah saat itu yang menetapkan mazhab Hanafi sebagai mazhab negara.
Akibat keluasan ilmunya, Khalifah Harun Al-Rasyid mengangkatnya sebagai hakim di kota Riqqah, Irak. Namun, tugas ini hanya berlangsung singkat karena ia kemudian mengundurkan diri untuk lebih berkonsentrasi pada pengajaran dan penulisan fiqih. Al-Syaibani meninggal dunia pada tahun 189H (804M) di kota al-Ray, dekat Teheran, dalam usia 58 tahun[23].
2.    Pemikiran Ekonomi Hasan Asy Syaibani
a.    Al-Kasb (Kerja)
Dalam kitab Al-Kasb (Kerja) ini, asy-Syaibani mendefinisikan al-Kasb (kerja) sebagai mencari perolehan harta melalui berbagai cara yang halal. Dalam ilmu ekonomi, aktivitas demikian termasuk dalam aktivitas produksi. Definisi ini mengindikasikan bahwa yang dimaksud dengan aktivitas produksi dalam ekonomi Islam adalah berbeda dengan aktivitas produksi dalam ekonomi konvensional.[24]
Produksi suatu barang atau jasa, seperti yang dinyatakan dalam ilmu ekonomi, dilakukan karena barang atau jasa itu mempunyai utilitas (nilai-guna). Islam memandang bahwa suatu barang atau jasa mempunyai utilitas jika mengandung kemaslahatan. Seperti yang diungkapkan oleh Al-Syatibi, kemaslahatan hanya dapat dicapai dengan memelihara lima unsur pokok kehidupan, yaitu agama, jiwa, akal dan harta.[25]
b.   Kekayaan dan Kefakiran[26]
Menurut Asy-Syaibani walaupun telah banyak dalil yang menunjukkan keutamaan sifat-sifat kaya, sifat-sifat fakir mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Ia menyatakan apabila manusia telah merasa cukup dari apa yang dibutuhkan kemudian bergegas pada kebajikan, sehingga mencurahkan perhatian pada urusan akhiratnya, adalah lebih baik bagi mereka. Dalam konteks ini, sifat-sifat fakir diartikan sebagai kondisi yang cukup (kifayah) bukan kondisi meminta-minta (kafafah). Dengan demikian Asy-Syaibani menyerukan agar manusia hidup dalam kecukupan baik untuk diri sendiri bukan keluarganya.
c.    Klasifikasi Usaha-usaha Perekonomian[27]
Asy-Syaibani membagi usaha perekonomian menjadi empat macam, yaitu sewa-menyewa, perdagangan, pertanian dan perindustrian. Dari keempat usaha perekonomian tersebut, Asy-Syabani lebih mengutamakan usaha pertanian. Menurutnya pertanian memproduksi berbagai kebutuhan dasar manusia yang sangat menunjang dalam melaksanakan berbagai kewajibannya.
Dari segi hukum Asy-Syaibani membagi usaha-usaha perekonomian menjadi dua, yaitu fardu kifayah dan fardu ‘ain.
d.   Kebutuhan-kebutuhan Ekonomi[28]
Al-Syaibani mengatakan bahwa sesungguhnya Allah menciptakan anak-anak Adam sebagai suatu ciptaan yang tubuhnya tidak akan berdiri kecuali dengan empat perkara, yaitu makan, minum, pakaian dan tempat tinggal. Para ekonom lain mengatakan bahwa keempat hal ini adalah tema ilmu ekonomi. Jika keempat hal tersebut tidak pernah diusahakan untuk dipenuhi, ia akan masuk neraka karena manusia tidak akan dapat hidup tanpa keempat hal tersebut.
e.    Distribusi Pekerjaan[29]
Imam Asy-Syaibani menyatakan bahwa manusia dalam hidupnya selalu membutuhkan yang lain. Asy-Syaibani menandaskan bahwa seorang yang fakir membutuhkan orang kaya dan orang kaya membutuhkan tenaga orang miskin. Dari hasil tolong menolong itu, manusia jadi lebih mudah dalam menjalankan aktivitas kepada-Nya. Dalam konteks demikian, Allah berfirman (Al-Maidah/5:2):
Artinya: “… dan saling menolonglah kamu sekalian dalam kebaikan dan ketakwaan”
Lebih jauh Asy-Syaibani menyatakan bahwa apabila seseorang bekerja dengan niat melaksanakan ketaatan kepada-Nya atau membantu saudaranya untuk melaksanakan ibadah kepada-Nya, pekerjaan tersebut niscaya akan diberi ganjaran sesuai dengan niatnya. Dengan demikian, distribusi pekerjaan seperti yang di atas merupakan objek ekonomi yang mempunyai dua aspek secara bersamaan, yaitu aspek religius dan aspek ekonomis.

BAB III
PENUTUP

Uraian pemikiran Abu Yusuf dam Asy Syaibani diatas memperlihatkan perhatiannya yang besar pada sistem perekonomian yang semakin berkembang. Dan tanpa kehilangan jati dirinya, beliau berdua mengedapankan nilai-nilai moral dan sosial yang merupakan salah satu implementasi dari pemahaman keislaman yang begitu mendalam. Kitab Al-Kharaj dan Al-Kasb merupakan salah satu literatur dan bahan rujukan bagi para pemikir sesudahnya maupun pemikir-pemikir kontemporer dalam menyusun kembali sistem islam yang sempurna dari sisi ekonomi.
Bukan hal yang mustahil jika dikemudian hari terbentuk sistem ekonomi islam yang utuh yang merupakan hasil dari para pemikir ekonomi islam klasik maupun kontemporer. Dengan tetap berbasis pada syari’at ( Quran dan Sunnah ). Pastinya disana kita akan melihat sosok Abu Yusuf dan Asy Syaibani menjadi salah satu bagian penting yang tercatat dengan tinta emas sejarah peradaban islam.















DAFTAR PUSTAKA

Adimarwan Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi, Raya Grafindo Persada, Jakarta, 2006
Adiwarman Azwar Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Gema Insani Press, Jakarta
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Grafindo Persada, Jakarta, 2004
Akmal Azhar, Dasar-Dasar Ekonomi Islam, Cipta Pustaka Media, Bandung, 2006
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syariah Menurut Asy-Syatibi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar, Yogyakarta, Ekonisia, 2003
Mustafa Edwin, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, KPMG, Jakarta, 2007
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta
Sabahuddin Azmi, Menimbang Ekonomi Islam, Keuangan Publik, Kosep Perpajakan dan Peran Bait al-Mal, Nuansa, Bandung, 2005
Yusuf Qordawi, Karakteristik Islam, Robbani press, Jakarta, 1997


[1] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Grafindo Persada, Jakarta, 2004, h. 231
[2] Ibid, h. 232
[3] Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar, Yogyakarta, Ekonisia, 2003, h.152
[4] Sabahuddin Azmi, Menimbang Ekonomi Islam, Keuangan Publik, Kosep Perpajakan dan Peran Bait al-Mal, Nuansa, Bandung, 2005, h. 47
[5] Akmal Azhar, Dasar-Dasar Ekonomi Islam, Cipta Pustaka Media, Bandung, 2006, h. 223
[6] Sabahuddin Azmi, Op Cit, h. 47
[7] Adiwarman, Op Cit, h. 235
[8] Adiwarman Azwar Karim, Op Cit, h. 235
[9] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, h. 107
[10] Sabahuddin Azmi, Op Cit, h. 66
[11] Sahabudin Azmi, Ibid, h. 67
[12] Adiwarman Azwar Karim, Op Cit, h. 15
[13] Yusuf Qordawi, Karakteristik Islam, Robbani press, Jakarta, 1997, h. 296
[14] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Op Cit, h. 107
[15] Sabahuddin Azmi, Op Cit, h. 154
[16] Adiwarman Azwar Karim, Op Cit, h. 249
[17] Adiwarman Azwar Karim, Op Cit, h. 15
[18] Mustafa Edwin, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, KPMG, Jakarta, 2007, hlm. 186
[19] Adiwarman Azwar Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Gema Insani Press, Jakarta, h. 156
[20] Adiwarman Azwar Karim, Op Cit, h. 16
[21] Adimarwan Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi, Raya Grafindo Persada, Jakarta, 2006, h. 231
[22] Ibid
[23] Ibid, h. 232
[24] Ibid, h. 234
[25] Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syariah Menurut Asy-Syatibi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, h. 71
[26] Adimarwan Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi, Raya Grafindo Persada, Jakarta, 2006, h. 237-238
[27] Ibid, h. 238
[28] Ibid, h. 239
[29] Ibid, h. 239-240

Tidak ada komentar:

Posting Komentar