PEMIKIRAN
IMAM ABU YUSUF DAN ASY SYAIBANI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah
merupakan potret manusia di masa lampau yang merupakan laboratorium kehidupan
yang sesungguhnya. Tiap generasi ada zamannya, begitupun sebaliknya,
setiap zaman ada generasinya. Dimensi masa depan dengan segala persoalannya
dari zaman kapanpun selalu saja sampai kepada manusia berikutnya dalam bentuk
kebaikan untuk diteladani maupun sesuatu yang buruk sebagai pelajaran untuk
tidak dilakukan lagi.
Menampilkan
pemikiran ekonomi para cendekiawan muslim terkemuka akan memberikan kontribusi
positif bagi umat Islam, setidaknya dalam dua hal; pertama, membantu menemukan
berbagai sumber pemikiran ekonomi Islam kontemporer dan kedua memberikan
kemungkinan kepada kita untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai
perjalanan pemikiran Islam selama ini.
Konsep
ekonomi para cendekiawan muslim berakar pada hukum Islam yang bersumber dari
firman Allah dan hadits Nabi yang merupakan hasil interpretasi dari berbagai
ajaran Islam yang bersifat abadi dan universal, mengandung sejumlah perintah
dan prinsip umum bagi perilaku individu dan masyarakat serta mendorong umatnya
untuk menggunakan kekuatan akal pikiran mereka.
Kajian-kajian
terhadap perkembangan sejarah ekonomi Islam merupakan ujian-ujian empirik yang
diperlukan bagi setiap gagasan ekonomi. Ini memiliki arti yang sangat penting,
terutama dalam kebijakan ekonomi dan keuangan negara secara umum.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sumbangan pemikiran Abu
Yusuf dan Asy Syaibani terhadap pengembangan Ekonomi Islam?
2.
Apa karya abu Yusuf dan Asy Syaibani
yang membantu pengembangan Ekonomi Islam pada masa itu?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pemikiran Abu Yusuf dalam Ekonomi
1.
Biografi
Ya`qub bin
Ibrahim bin Habib bin Khunais bin Sa`ad Al-Anshari, atau yang sering dikenal
Abu Yusuf, lahir di Kufah pada tahun 113 H (731 M) dan meninggal dunia tahun
182 H (789 M).[1]
Ibunya masih mempunyai hubungan darah dengan salah satu sahabat nabi yaitu
Sa`ad Al Anshori. Kota kelahiran beliau merupakan salah satu pusat peradaban
pemerintahan islam dan tempat para cendikiawan muslim dari seluruh penjuru
dunia islam datang untuk saling bertukar pikiran tentang berbagai pikiran Ilmu
pengetahuan.
Dalam
belajar, beliau sangat gigih dan menunjukkan kemampuan yang tinggi sebagai ahlul
hadits dan ahlur ra’yi yang dapat menghafal sejumlah hadits. Hingga
kemudian beliau mendalami ilmu fiqh yang dipelajarinya pada Muhammad bin
Abdurrahman bin Abi Laila atau Ibnu Abi Laila. Kemudian beliau belajar pada
Imam Abu Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi. Karena melihat bakat dan semangat
serta ketekunan Abu Yusuf dalam belajar, Imam Abu Hanifah menyanggupi untuk
membiayai semua keperluan pendidikannya, bahkan biaya hidup keluarganya. Imam
Abu Hanifah sangat mengharapkan agar Abu Yusuf kelak dapat melanjutkan dan
menyebarluaskan Mazhab Hanafi ke berbagai dunia Islam. Sebagai bentuk
penghormatan dan pengakuan pemerintah atas keluasan dan kedalaman ilmunya,
Khalifah Dinasti Abbasiyah, Harun ar Rasyid, mengangkat Abu Yusuf sebagai ketua
Mahkamah Agung (Qadhi al Qudhah).[2]
Meskipun
disibukkan dengan berbagai aktivitas mengajar dan birokrasi, Abu Yusuf masih
meluangkan waktu untuk menulis. Beberapa karyanya yang terpenting adalah: al
Jawami`, ar Radd `ala Siyar al Auza`i, al Atsar, Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibn
Abi Laila, Adab al Qadhi dan al Kharaj.[3]
2.
Kitab Al
Kharaj
Kitab ini
ditulis untuk merespon permintaan Khalifah Harun Al Rasyid tentang
ketentuan-ketentuan agama Islam yang membahas masalah perpajakan, pengelolaan
pendapatan dan pembelanjaan publik. Abu Yusuf menuliskan bahwa Amir
al-Mu’minin telah memintanya untuk mempersiapkan sebuah buku yang
komprehensif yang dapat digunakan sebagai petunjuk pengumpulan pajak yang sah,
untuk menghindari penindasan terhadap rakyat. Al Kharaj merupakan kitab
pertama yang menghimpun semua pemasukan dan pengeluaran negara berdasarkan
dalil Al Qur`an dan sunnah Rasul SAW. Kitab ini dapat digolongkan sebagai public
finance dalam pengertian ekonomi modern. Pendekatan yang dipakai dalam
kitab al-Kharaj sangat pragmatis dan bercorak fiqh. Kitab ini berupaya
membangun sebuah sistem keuangan publik yang mudah dilaksanakan yang sesuai
dengan hukum islam yang sesuai dengan persyaratan-persyaratan ekonomi. Dengan
pengamatan (observasi) yang tinggi dan analisisnya yang tinggi, Abu Yusuf dalam
kitab ini sering menggunakan ayat-ayat Al Qur’an dan Sunnah Nabi saw serta
praktek dari para penguasa saleh terdahulu sebagai acuannya sehingga membuat
gagasan-gagasannya relevan dan mantap.[4]
Prinsip-prinsip
yang ditekankan oleh Abu Yusuf dalam perekonomian, dapat disimpulkkan
bahwa pemikiran ekonomi Abu Yusuf sebenarnya tersimpul dalam al-Kharaj
yang dapat disebut sebagai bentuk pemikiran ekonomi kenegaraan, mengupas
tentang kebijakan fiskal, pendapatan negara dan pengeluaran.[5]
Penamaan al
Kharaj terhadap kitab ini, dikarenakan memuat beberapa persoalan pajak,
kaum nonmuslim wajib membayar jizyah, namun jika mereka meninggal maka jizyah
tersebut tidak boleh dibayar oleh ahli warisnya. Jizyah dalam
terminologi konvensional disebut dengan pajak perlindungan, yakni jasa keamanan
yang diberikan negara islam kepada kaum non muslim. Bagi kaum non muslim yang
ikut berperang, maka bagi mereka tidak dibebankan untuk membayar jizyah.
Berdasarkan klasifikasi strata masyarakat maka jizyah bagi golongan kaya
sebesar 4 dinar, golongan menengah 2 dinar dan kelas miskin 1 dinar. Tentang
mereka yang enggan membayar jizyah, beliau menyatakan bahwa dalam
menarik jizyah dari orang-orang non muslim tidak perlu dengan cara
kekerasan tetapi dengan cara yang kekeluargaan yakni memberlakukan mereka
layaknya teman, karena hal ini dapat memberikan pengaruh positif yaitu
bertambah simpatinya kaum non muslim terhadap Islam., serta masalah-masalah
pemerintahan.
Suatu studi
yang komparatif mengenai buku itu menunjukkan bahwa berabad-abad sebelum adanya
suatu kajian yang sistematis mengenai keuangan publik di Barat, Abu Yusuf telah
berbicara tentang kemampuan dan kemudahan para pembayar pajak dalam pemungutan
pajak. Ia menolak dengan tegas penanaman pajak dan menekankan pentingnya
pengawasan yang ketat terhadap para pemungut pajak untuk menghindari korup dan
penindasan. Ia dengan tulus menganggap penghapusan penindasan dan jaminan
kesejahteraan rakyat sebagai tugas utama penguasa. Ia juga menekankan
pembangunan infrastruktur dan menyarankan berbagai proyek kesejahteraan.
Sumbangan utamanya terletak pada bidang keuangan publik. Namun, ada juga beberapa
refleksi dalam bukunya tentang pasar dan penetapan harga, seperti bagaimana
haarga itu ditentukan dan apa dampak pelbagai pajak. Disamping itu, buku
tersebut mengkaji status non-muslim di negara Islam, tempat ibadah mereka dan
hukum kriminal.[6]
3. Sistem Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf
Sebagai
seorang fuqaha dengan latar belakang beraliran ahl ar-Ra’yu, Abu Yusuf
cenderung memaparkan berbagai pemikiran ekonominya dengan menggunakan perangkat
analisis qiyas yang didahului dengan melakukan kajian yang mendalam terhadap Al
Qur’an, Hadits Nabi, Atsar Shahabi, serta praktik para penguasa yang shalih.
Landasan pemikirannya adalah mewujudkan kemaslahatan umum. Pendekatan ini
membuat berbagai gagasannya lebih relevan dan mantap.[7]
Seperti yang
sudah tertulis bahwa kekuatan utama pemikiran Abu Yusuf adalah dalam masalah
keuangan publik. Dengan daya observasi dan analisisnya yang tinggi, Abu Yusuf
menguraikan masalah keuangan dan menunjukkan beberapa kebijakan yang harus
diadopsi bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Terlepas dari
berbagai prinsip perpajakan dan pertanggung jawaban negara terhadap
kesejahteraan rakyatnya, Ia memberikan beberapa saran tentang cara-cara
memperoleh sumber pembelanjaan untuk pembangunan jangka panjang seperti
membangun jembatan dan bendungan serta menggali saluran-saluran besar dan
kecil.[8]
Dalam hal
yang berhubungan pemerintahan Abu Yusuf menyusun sebuah kaidah fiqh yang sangat
populer, yaitu Tasrruf al-Imam `ala Ra`iyyah Manutun bi al-Mashlaha
(setiap tindakan pemerintah yang berkaitan dengan rakyat senantiasa terkait
dengan kemaslahatan mereka). Ia menekankan pentingnya sifat amanah dalam
mengelola uang negara, uang negara bukan milik khalifah, tetapi amanat Allah
dan rakyatnya yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab.[9]
a. Negara dan Aktivitas Ekonomi
Dalam
pandangan Abu Yusuf, tugas utama penguasa adalah mewujudkan serta menjamin
kesejahteraan rakyatnya. Ia selalu menekankan pentingnya memenuhi kebutuan
rakyat dan mengembangkan berbagai proyek yang berorientasi kepada kesejahteraan
umum. Dengan mengutip pernyataan Umar bin Khattab, Ia mengungkapkan bahwa
sebaik-baik penguasa adalah mereka yang memerintah demi kemakmuran rakyatnya
dan seburuk-buruk penguasa adalah mereka yang memerintah tetapi rakyatnya malah
menemui kesulitan.
Abu Yusuf
menyatakan bahwa negara bertanggung jawab untuk memenuhi pengadaan fasilitas
infrastruktur agar dapat meningkatkan produktifitas tanah, kemakmuran rakyat
serta pertumbuhan ekonomi. Ia berpendapat bahwa semua biaya yang dibutuhkan
bagi pengadaan proyek publik, seperti pembangunan tembok dan bendungan, harus
ditanggung oleh negara. Namun demikian, Abu Yusuf menegaskan bahwa jika proyek
tersebut hanya menguntungkan suatu kelompok tertentu, biaya proyek akan
dibebankan kepada mereka sepantasnya. Pernyataan ini tampak telihat ketika ia
mengomentari proyek pembersihan kanal-kanal pribadi.
Menarik
dicatat persepsi Abu Yusuf tentang pengadaan barang-barang publik muncul dalam
teori konvensional tentang keuangan publik. Teori konvensional mengilustrasikan
bahwa barang-barang sosial yang bersifat umum harus disediakan secara umum oleh
negara dan dibiayai oleh kebijakan anggaran. Akan tetapi, jika manfaat
barang-barang publik tersebut diinternalisasikan dan mengonsumsinya berlawanan
dan mungkin menghalangi pihak yang lain dalam memanfaatkan proyek tersebut,
maka biaya akan dibebankan secara langsung.[10]
Dalam
menganalisis gagasan Abu Yusuf yang berkaitan dengan pengadaan barang-barang
publik atau umum, bahwa proyek-proyek irigasi di sungai-sungai besar yang
manfaatnya digunakan untuk umum maka harus dibiayai oleh keuangan negara.
Karena manfaatnya secara umum, pelarangan atas seseorang untuk memanfaatkannya
tidak mungkin dan tidak dapat dilakukan. Sebaliknya dalam kasus kenal milik
pribadi, dimana manfaatnya diinternalisasikan dan pelarangan bagi umum dapat
dilakukan, maka pembiayaannya akan dibebankan pada orang-orang yang memperoleh
langsung manfaat dari fasilitas seperti itu.[11]
b. Perpajakan menurut Abu Yusuf
Abu Yusuf
cenderung menyetujui negara mengambil bagian dari hasil pertanian dari para
penggarap daripada menarik sewa dari lahan pertanian. Dalam pandangannya, cara
ini lebih adil dan tampaknya akan memberikan hasil produksi yang lebih besar
dengan memberikan kemudahan dalam memperluas tanah garapan. Dalam hal pajak, Ia
telah meletakan prinsip-prinsip yang jelas yang berabad-abad kemudian dikenal
oleh para ahli ekonomi sebagai canons of taxation. Kesanggupan membayar,
pemberian waktu yang longgar bagi pembayar pajak dan sentralisasi pembuatan
keputusan dalam administrasi pajak adalah beberapa prinsip yang ditekankannya.[12]
Misalnya Abu Yusuf juga mengangkat kisah khalifah Umar bin Khattab yang
menghadapi kaum nasrani bani Tlaghlab. Mereka adalah orang arab yang
anti pajak. “Maka jangan sekali-kali kamu engkau jadikan mereka sebagai musuh
(karena tidak mau membayar pajak), maka ambillah dari mereka pajak dengan atas
nama sedekah. Karena mereka sejak dulu mau membayar sedekah dengan berlipat
ganda asal tidak bernama pajak.” Mendengar hal itu pada mulanya khalifah Umar
menolak usulan ini, tetapi kemudian hari justru menyetujuinya, sebab di
dalamnya terdapat unsur mengais manfaat dan mencegah mudharat.[13]
Sebagai contoh dalam sentralisasi pembuatan keputusan dalam administrasi pajak.
Abu Yusuf dengan keras menentang
pajak pertanian. Ia menyarankan agar petugas pajak diberi gaji dan perilaku
mereka harus diawasi untuk mencegah korupsi dan praktek penindasan. Dan
mengusulkan penggantian system pajak tetap (lump sum system) atas tanah
menjadi pajak proporsional atas hasil pertanian. Sistem proporsional ini lebih
mencerminkan rasa keadilan serta mampu menjadi automatic stabilizer bagi
perekonomian sehingga dalam jangka panjang perekonomian tidak akan berfluktuasi
terlalu tajam.[14]
Sistem pajak ini didasarkan pada hasil
pertanian yang sudah diketahui dan dinilai, sistem tersebut mensyaratkan
penetapan pajak berdasarkan produksi keseluruhan, sehingga sistem ini akan
mendorong para petani untuk memanfaatkan tanah tandus dan mati agar memperoleh
bagian tambahan. Dalam menetapkan angka, Abu Yusuf menganggap sistem irigasi
sebagai landasannya, perbedaan angka yang diajukannya adalah sebagai berikut:
1) 1.40 % dari
produksi yang diairi oleh hujan alamiah
2) 2.30 % dari
produksi yang diairi secara artificial
3) 3.1/3 % dari
produksi tanaman (pohon palm, kebun buah-buahan dan sebagainya)
4) 4.¼ % dari
produksi tanaman musim panas.[15]
c. Mekanisme Harga/Penentuan Harga
Abu Yusuf
tercatat sebagi ulama terawal yang mulai menyinggung mekanisme pasar. Ia
misalnya memerhatikan peningkatan dan penurunan produksi dalam kaitannya dengan
perubahan harga.[16]
Abu Yusuf
menyatakan bahwa hasil panen yang berlimpah bukan alasan Untuk menurunkan harga
panen dan sebaliknya, kelangkaan tidak mengakibatkan harganya melambung.
Pendapat Abu Yusuf ini merupakan hasil observasi. Fakta di lapangan menunjukkan
bahwa ada kemungkinan kelebihan hasil dapat berdampingan dengan harga yang
tinggi dan kelangkaan dengan harga yang rendah. Namun di sisi lain, Abu Yusuf
juga tidak menolak peranan permintaan dan penawaran dalam penentuan harga.[17]
Tapi kelihatannya Abu Yusuf ingin mengatakan bahwa kenyataannya harga tidak
hanya bergantung pada kekuatan penawaran tetapi juga permintaan. Karena itu
peningkatan atau penurunan harga tidak selalu berhubungan dengan penurunan atau
peningkatan dalam produksi. Secara tegas Ia mengatakan ada beberapa
variabel-variabel lain yang mempengaruhi, namun beliau tidak menjelaskan secara
rinci, variabel-variabel apa saja itu.[18]
Tapi bisa
dari variabel itu adalah pergeseran dalam permintaan atau jumlah uang yang
beredar di suatu negara, atau penimbunan dan penahanan barang, atau semua hal
tersebut. Menurut Siddiqi sebagaimana yang telah dikutip oleh Adiwarman, bahwa
ucapan Abu Yusuf harus diterima sebagai pernyataan dari hasil pengamatan pada
saat itu, yakni keberadaan yang bersamaan antara melimpahnya barang dan
tingginya harga serta kelangkaan barang dan harga rendah.[19]
Penting
diketahui, para penguasa pada periode itu umumnya memecahkan masalah kenaikan
harga dengan menambah suplai bahan makanan dan mereka menghindari kontrol
harga. Kecendrungan yang ada dalam pemikiran ekonomi adalah membersihkan pasar
dari praktek penimbunan, monopoli, dan pratek korup lainnya dan kemudian
membiarkan penentuan harga kepada kekuatan permintaan dan penawaran.[20]
B. Al-Syaibani dan Ekonomi Islam
1. Biografi
Nama lengkap Al-Syaibani adalah Abu Abdillah
Muhammad bin
al-Hasan bin Farqad
al-Syaibani. Beliau lahir pada tahun 132 H (750M) di kota Wasith, Ibu Kota Iraq pada masa
akhir pemerintahan Bani Umawiyyah. Ayahnya berasal dari negeri Syaiban di wilayah
jazirah Arab[21].
Di kota Kufah ia belajar fikih, sastra, bahasa dan hadits kepada para ulama
setempat, seperti Mus’ar bin Kadam, Sufyuan Tsauri, Umar bin Dzar dan Malik bin
Maghul. Pada periode ini pula, Al-Syaibani yang baru berusia 14 tahun berguru
kepada Abu Hanifah selama 4 tahun. Setelah itu ia berguru kepada Abu Yusuf,
salah seorang murid terkemuka dan pengganti Abu Hanifah, hingga keduanya
tercatat sebagai penyebar mazhab Hanafi.[22]
Dalam menuntut ilmu,
Al-Syaibani tidak hanya berinteraksi dengan para ulama ahl al-ra’yi, tetapi
juga ulama ahl al-hadits. Ia layaknya para ulama terdahulu, berkelana ke
berbagai tempat, seperti Madinah, Makkah, Syria, Basrah dan Khurasan untuk
belajar kepada para ulama besar, seperti Malik bin Anas, Sufyan bin ‘Uyainah
dan Auza’i. ia juga pernah bertemu dengan Al-Syafi’i ketika belajar al-Muwatta’
pada Malik bin Anas. Hal tersebut memberikan nuansa baru dalam pemikiran
fiqihnya.
Setelah
memperoleh ilmu yang memadai, Al-Syaibani kembali ke Baghdad yang pada saat itu
telah berada dalam kekuasaan Daulah Bani Abbasiyah. Di tempat ini ia mempunyai
peranan yang penting dalam majelis ulama dan kerap didatangi para penuntut
ilmu. Hal tersebut semakin mempermudahnya dalam mengembangkan mazhab Hanafi,
apalagi ditunjang kebijakan pemerintah saat itu yang menetapkan mazhab Hanafi
sebagai mazhab negara.
Akibat
keluasan ilmunya, Khalifah Harun Al-Rasyid mengangkatnya sebagai hakim di kota
Riqqah, Irak. Namun, tugas ini hanya berlangsung singkat karena ia kemudian
mengundurkan diri untuk lebih berkonsentrasi pada pengajaran dan penulisan
fiqih. Al-Syaibani meninggal dunia pada tahun 189H (804M) di kota al-Ray, dekat
Teheran, dalam usia 58 tahun[23].
2. Pemikiran Ekonomi Hasan Asy Syaibani
a.
Al-Kasb (Kerja)
Dalam kitab Al-Kasb
(Kerja) ini, asy-Syaibani mendefinisikan al-Kasb (kerja) sebagai mencari
perolehan harta melalui berbagai cara yang halal. Dalam ilmu ekonomi, aktivitas
demikian termasuk dalam aktivitas produksi. Definisi ini mengindikasikan bahwa
yang dimaksud dengan aktivitas produksi dalam ekonomi Islam adalah berbeda
dengan aktivitas produksi dalam ekonomi konvensional.[24]
Produksi
suatu barang atau jasa, seperti yang dinyatakan dalam ilmu ekonomi, dilakukan
karena barang atau jasa itu mempunyai utilitas (nilai-guna). Islam memandang
bahwa suatu barang atau jasa mempunyai utilitas jika mengandung kemaslahatan.
Seperti yang diungkapkan oleh Al-Syatibi, kemaslahatan hanya dapat dicapai
dengan memelihara lima unsur pokok kehidupan, yaitu agama, jiwa, akal dan
harta.[25]
Menurut
Asy-Syaibani walaupun telah banyak dalil yang menunjukkan keutamaan sifat-sifat
kaya, sifat-sifat fakir mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Ia menyatakan
apabila manusia telah merasa cukup dari apa yang dibutuhkan kemudian bergegas
pada kebajikan, sehingga mencurahkan perhatian pada urusan akhiratnya, adalah
lebih baik bagi mereka. Dalam konteks ini, sifat-sifat fakir diartikan sebagai
kondisi yang cukup (kifayah) bukan kondisi meminta-minta (kafafah).
Dengan demikian Asy-Syaibani menyerukan agar manusia hidup dalam kecukupan baik
untuk diri sendiri bukan keluarganya.
Asy-Syaibani
membagi usaha perekonomian menjadi empat macam, yaitu sewa-menyewa,
perdagangan, pertanian dan perindustrian. Dari keempat usaha perekonomian
tersebut, Asy-Syabani lebih mengutamakan usaha pertanian. Menurutnya pertanian
memproduksi berbagai kebutuhan dasar manusia yang sangat menunjang dalam
melaksanakan berbagai kewajibannya.
Dari segi
hukum Asy-Syaibani membagi usaha-usaha perekonomian menjadi dua, yaitu fardu
kifayah dan fardu ‘ain.
Al-Syaibani
mengatakan bahwa sesungguhnya Allah menciptakan anak-anak Adam sebagai suatu
ciptaan yang tubuhnya tidak akan berdiri kecuali dengan empat perkara, yaitu
makan, minum, pakaian dan tempat tinggal. Para ekonom lain mengatakan bahwa
keempat hal ini adalah tema ilmu ekonomi. Jika keempat hal tersebut tidak
pernah diusahakan untuk dipenuhi, ia akan masuk neraka karena manusia tidak
akan dapat hidup tanpa keempat hal tersebut.
Imam
Asy-Syaibani menyatakan bahwa manusia dalam hidupnya selalu membutuhkan yang
lain. Asy-Syaibani menandaskan bahwa seorang yang fakir membutuhkan orang kaya
dan orang kaya membutuhkan tenaga orang miskin. Dari hasil tolong menolong itu,
manusia jadi lebih mudah dalam menjalankan aktivitas kepada-Nya. Dalam konteks
demikian, Allah berfirman (Al-Maidah/5:2):
Artinya: “… dan saling menolonglah kamu sekalian
dalam kebaikan dan ketakwaan”
Lebih jauh Asy-Syaibani menyatakan bahwa apabila seseorang bekerja dengan
niat melaksanakan ketaatan kepada-Nya atau membantu saudaranya untuk
melaksanakan ibadah kepada-Nya, pekerjaan tersebut niscaya akan diberi ganjaran
sesuai dengan niatnya. Dengan demikian, distribusi pekerjaan seperti yang di
atas merupakan objek ekonomi yang mempunyai dua aspek secara bersamaan, yaitu
aspek religius dan aspek ekonomis.
BAB III
PENUTUP
Uraian
pemikiran Abu Yusuf dam Asy Syaibani diatas memperlihatkan perhatiannya yang
besar pada sistem perekonomian yang semakin berkembang. Dan tanpa kehilangan
jati dirinya, beliau berdua mengedapankan nilai-nilai moral dan sosial yang
merupakan salah satu implementasi dari pemahaman keislaman yang begitu
mendalam. Kitab Al-Kharaj dan Al-Kasb merupakan salah satu
literatur dan bahan rujukan bagi para pemikir sesudahnya maupun pemikir-pemikir
kontemporer dalam menyusun kembali sistem islam yang sempurna dari sisi
ekonomi.
Bukan hal
yang mustahil jika dikemudian hari terbentuk sistem ekonomi islam yang utuh
yang merupakan hasil dari para pemikir ekonomi islam klasik maupun kontemporer.
Dengan tetap berbasis pada syari’at ( Quran dan Sunnah ). Pastinya disana kita
akan melihat sosok Abu Yusuf dan Asy Syaibani menjadi salah satu bagian penting
yang tercatat dengan tinta emas sejarah peradaban islam.
Adimarwan
Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi, Raya Grafindo Persada, Jakarta, 2006
Adiwarman
Azwar Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Gema Insani Press,
Jakarta
Adiwarman
Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Grafindo Persada, Jakarta,
2004
Akmal Azhar,
Dasar-Dasar Ekonomi Islam, Cipta Pustaka Media, Bandung, 2006
Asafri
Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syariah Menurut Asy-Syatibi, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1996
Heri
Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar, Yogyakarta, Ekonisia,
2003
Mustafa
Edwin, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, KPMG, Jakarta, 2007
Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam, PT.
Rajagrafindo Persada, Jakarta
Sabahuddin
Azmi, Menimbang Ekonomi Islam, Keuangan Publik, Kosep Perpajakan dan Peran
Bait al-Mal, Nuansa, Bandung, 2005
Yusuf
Qordawi, Karakteristik Islam, Robbani press, Jakarta, 1997
[4] Sabahuddin Azmi, Menimbang Ekonomi Islam, Keuangan
Publik, Kosep Perpajakan dan Peran Bait al-Mal, Nuansa, Bandung, 2005, h.
47
[9] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam
(P3EI), Ekonomi Islam, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, h. 107
[19] Adiwarman Azwar Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian
Kontemporer, Gema Insani Press, Jakarta, h. 156
[22] Ibid
[25] Asafri
Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syariah Menurut Asy-Syatibi,
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1996,
h. 71
Tidak ada komentar:
Posting Komentar